Sebagai origin story, Joker buatan Todd Phillips (trilogi The Hangover, Due Date, War Dogs) yang tak mengambil inti cerita dari komiknya berhasil memberikan sebuah versinya sendiri dengan solid pula konsisten. Menggambarkan sisi kehidupan The Prince of Crime melalui studi karakter-yang membuat penonton mengerti alasan mengapa ia melakukan sebuah kriminalitas, alih-alih membenci maupun mengutuk perbuatannya. Singkatnya, Joker adalah sebuah pembelaan bagi mereka penderita mental illness.
Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) adalah seorang badut-yang kerap mengalami ketidakadilan. Ia kerap mengalami perundungan dari masyarakat sekitar atas profesinya bahkan tak segan mengolok-olok dirinya, bukan hanya itu saja, pukulan dan hantaman pun kerap melayang kepada tubuhnya. Di luar profesinya, Arthur adalah seorang pria paruh baya yang hidup di sebuah apartemen tua sembari merawat sang ibu tercinta, Penny Fleck (Frances Conroy) yang kerap menunggu dan mengirim surat kepada Thomas Wayne (Brett Cullen) milyuner sekaligus calon Walikota-agar ia dapat membantu kesulitan finansial yang dialaminya.
Naskah garapan sang sutradara bersama Scott Silver (8 Mile, The Fight, The Finest Hours) menerapkan pola linier-yang menekankan sebuah proses degradasi Arhur dalam mengambil keputusan-sebelum akhirnya melakukan sebuah balas dendam. Arthur hanyalah sosok manusia yang menginginkan sebuah keadilan atas kehidupan-di tengah penerimaan masyarakat yang selalu merendahkannya serta kondisi carut-marut kota Gotham yang kerap membuat sebuah gap antara si miskin dan si kaya. Hingga kenyataan tak berjalan sebagaimana mestinya, inilah alasan Joker melakukan sebuah aksi-yang menurutnya bisa menghapus sebuah derita yang dialami.
Joaquin Phoenix adalah alasan mengapa karakterisasi Joker dapat tersaji sedemikian luar biasa, Phoenix yang rela menurunkan badan sebanyak 24 kg mealkukan sebuah signifikansi terhadap sakit hati seorang Joker-yang kemudian bermanifestasi menjadi sosok pendobrak diri. Detail terkecil Phoenix perhatikan dengan begitu kontuni, mulai dari cara berjalan hingga tertawa dan tersenyum, kita melihat Phoenix bukanlah seperti dirinya, melainkan Joker.
Memerankan karakter pengidap pseudobulbar
affect (gangguan emosi di mana penderita tertawa atau menangis secara tidak terkontrol) Phoenix melakukan sebuah segmentasi brilian-yang penampilannya bisa menggondol piala Oscar. He worth for that. Apalagi mimik muka, emosi hingga teriakan berupa tawa begitu terasa, menyalurkan sebuah rasa yang sulit dicerna, kadang membuat kita terkekeh, kadangkala terasa memekik pula menyayat, ironi seperti ini begitu terkoneksi-yang kemudian bergejolak di dalam sanubari.
Berbicara eksekusi, penyutradaraan Phillips sama baiknya dengan performa sang aktor. Phillips tahu bagaimana memperhatikan timing, sebutlah sebuah momen yang turut melibatkan Murray Franklin (Robert De Niro) di dalamnya-yang seketika memberikan efek kejut yang tak terkira. Belum lagi, bidikan kamera Lawrence Sher (The Dictator, War Dogs, Godzilla: King of Monster) yang menangkap indah setiap momen, menciptakan sebuah keindahan sinema yang berisikan sebuah tragedi.
Musik gubahan Hildur Guðnadóttir (Sicario: Day of Soldado) memberikan sebuah komposisi atas keindahan pula ironi yang beriringan. Hingga ketika Arthur tengah menari menghibur/meratapi diri efek magis seketika tercipta-yang kembali memberikan sebuah rasa yang sulit dicerna. Diluar itu semua, Phillips turut menyentil kebobrokan kota-yang menciptakan sebuah kesenjangan pula pengadilan terhadap partisipan-yang harus menjadi korban. Di realita yang penuh dengan gegap gempita, kondisi serupa kerap terpampang-nyata, praktis, Joker tampil realis. Lantas, akankah kita bersikap apatis?
SCORE : 4.5/5
0 Komentar