Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

COUNTDOWN (2019)

Countdown selaku debut penyutradaraan pertama Justin Dec-meminjam pola Final Destination-esque yang kemudian dipadupadankan dengan teknologi bisa saja menjadi sebuah straightfowad horror menyenangkan andai tak berhasat tampil lebih sebagai tontonan yang mempunyai isi. Ya, naskah yang ditulis oleh sang sutadara menyelipkan unsur drama keluarga pula mendukung penuh gerakan #MeToo, saya belum menyebut tambahan bumbu komedi yang diniatkan menjadi pemanis-justru tampil salah tempat.


Sekuennya enggan untuk berlama-lama membangun pondasi, membawa penonton untuk langsung mengamati sebuah pesta muda-mudi yang saling bertaruh untuk mengunduh aplikasi bernama Countdown-yang konon dapat mengetahui jangka umur seseorang. Sial bagi Courtney (Anne Winters) ia mendapat jangka umur paling pendek yang tak lebih dari tiga jam untuk masa hidupnya.


Aplikasi yang semula dianggap sebagai lelucon berubah menjadi mimpi buruk yang dapat merenggut nyawa seseorang yang kemudian menarik minat Quinn Harris (Elizabeth Lail), perawat baru sekaligus sang protagonis utama untuk mengunduhnya pasca salah satu pasiennya, Evan (Dillon Lane), kekasih Courtney mengeluhkan bahwa waktu untuk hidupnya tak lama lagi.


Benar saja, Evan ditemukan tewas jatuh dari lantai lima-yang kemudian membuat Quinn cemas akan sisa hidupnya yang menunjukan tak lebih dari dua hari. Dari sini, perjuangan menghindari kematian ditengah pencarian jalan keluar dilakukan-yang kemudian membawa Countdown menampilkan kedok horornya.


Jangan harapkan sebuah hiburan penyulut kengerian, Countdown tersusun atas rentetan jumpscare yang mudah sekali ditebak kehadirannya-yang sebatas tampil mengagetkan tanpa menyulut sebuah kecemasan. Alhasil, rangkaian teror yang ditampilkan berjalan sambil lalu, nihil sebuah urgensi akan dampak yang dihasilkan setelahnya.


Sebagai tontonan fun-ride, Countdown bisa saja berhasil bagi penonton yang tak mempunyai nyali, walau setelah menontonnya perasaan hampa masih tetap terasa di tengah eksekusi datar miliknya. Pun, dalam menampilkan sebuah kematian, Countdown tampil malu-malu anjing-guna menyulut sebuah rasa penasaran yang justru bermuara pada sebuah kekosongan. Pasalnya, momen yang seharusnya "dinantikan" tampil off-screen.


Terkait pengadeganan, narasinya tampil amat berantakan. Di satu sisi sang sutradara ingin menonjolkan horornya-namun tak ingin terlambat dalam memasukan unsur keluarga disfungsional, terciptalah sebuah distraksi yang sama sekali tak memilik taji. Andai Justin Dec mampu mengakali, momen tersebut bisa saja tampil menguatkan ketimbang menghilangkan.


Seperti yang telah saya singgung, Countdown punya ambisi besar dalam menyelaraskan sebuah tautan, menuju second-act, turut ditampilkan romansa canggung Quinn dengan Matt (Jordan Calloway), pria yang juga terjebak aplikasi, memiliki kesamaan masa lalu dengan Quinn-yang kehadirannya berujung tak memiliki arti setelah hanya dijadikan sebagai sampingan yang urung memiliki kesan, seketika melanjutkan adegan pada relasi Quinn dengan sang adik, Jordan (Talitha Bateman) yang juga memiliki jangka umur pendek.


Mulai dari pandangan medis hingga agamis, Countdown memberikan sebuah penjelasan tak logis-yang kehadirannya hanya sebatas hasil cocokologi guna menjawab sebuah mitologi yang membungkus konklusi. Klimaksnya berpotensi tampil mencekam andai tak di dasari sebuah penggampangan-yang turut menjadi persentasi canggung atas hukuman pelaku kejahatan seksual. Hal tersebut juga menimpa P.J. Byrne, memerankan Pastor John yang kehadirannya diniatkan sebagai lakon komedik lewat pembawaan nyentrik yang berujung tak menarik.


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar