The Commuter menandai kali keempat Liam Neeson bekerjasama dengan sutradara Jaume Collet-Serra pasca Unknown (2011), Run All Night (2015) dan Non-Stop (2014). Judul terakhir adalah yang mendekati cerita keseluruhan The Commuter-yang membawa Liam Neeson memerankan Michael MacCauley, seorang salesman di bidang asuransi. Michael adalah sosok yang pulang-pergi ke tempat kerja menggunakan komuter. Sial bagi Michael, pasca sepuluh tahun mengabdi di tempat kerjanya, ia dipecat dari perusahaan dengan alasan kehadirannya tak memberikan sebuah perubahan bagi perusahaan.
Di tengah situasi sedih nan gamang untuk menceritakan kepada keluarga di tengah keharusannya membayar iuran sang putera semata wayang yang baru saja di terima di sebuah universitas, Michael bertemu dengan seorang wanita misterius bernama Joanna (Vera Farmiga) yang menawarinya untuk menemukan pula menempelkan sebuah alat pelacak kepada seorang penumpang dengan identitas nama Prynne yang menjadi saksi sebuah pembunuhan. Jika berhasil, Michael akan mendapatkan imbalan berupa $100 ribu.
Tentu, mudah memahami kondisi Michael yang menerima tawaran tersebut berdasar sebuah desakan atas kebutuhan. Michael adalah sosok pria rapuh yang amat menyayangi keluarga-namun memilih jalan yang salah guna membahagiakannya. Dari sini, penyutradaraan Jaume Collet-Serra bergerak ke ranah aksi pencarian pula investigasi berbasis whodunit dalam kereta-yang seketika mengingatkan saya akan karya Agatha Christie dalam seri Murder on the Orient Express.
Meskipun tak lagi muda, Neeson masih tetap meyakinkan untuk melakoni sebuah adegan aksi yang lantas dieksploitasi di sini, beragam ketegangan mampu tesulut kala Collet-Serra menempatkan seorang pria paruh baya dalam situasi terhimpit pula dalam tempat yang salah, hanya berbekal kepekaan instingnya mengenali para penumpang yang ia temui setiap harinya. Dari sini, menariknya The Commuter yang bermain "tebak buah manggis" di tengah cerita ringan pula pacing cepat layaknya sebuah popcorn-movie dengan taburan bumbu misteri.
Saya amat menikmati guliran eksekusi yang disajikan The Commuter, meski jika dielisik, naskah garapan Byron Willinger, Philip de Balsi, dan Ryan Engle menyimpan setumpuk tanya besar-yang salah satunya perihal menanyakan keputusan memilih Michael sebagai sosok terpilih, padahal Joanna adalah sosok dengan pengetahuan tinggi pula harta berlimpah-yang rasanya tak sulit untuk mencari sosok orang yang diinginkan. Dari sana, naskahnya bermasalah, terlebih kala konklusinya menampilkan sebuah twist terkait identitas pelaku yang gagal memberikan sebuah efek kejut, pasalnya sang pelaku sudah ditampilkan ketika awal durasi.
Konklusi yang ditampilkan The Commuter ibarat sebuah pisau bermata dua, dari satu sisi, saya menyukai sense-of-urgency yang ditampilkan filmnya dalam mempertahankan sebuah opsi dan mempersulit terendusnya sang incaran. Secara bersamaan pula, identitas terkait sang dalang utama ditampilkan-yang mana bukan sebuah keberhasilan akibat ketiadaan sebuah kejutan pula atensi yang menengarainya terlampau jamak ditampilkan tontonan sebelumnya-yang memberikan sebuah sentilan terkait para aparat korup yang lebih mengutamakan saku diatas segalanya.
The Commuter berpotensi menjadi sebuah sajian yang lebih baik lagi jikalau memperhatikan skema penulisan. Tak masalah jika tujuannya sebatas sebuah hiburan lepas yang urung memasukan unsur serius di dalamnya, Jaume Collet-Serra memang serakah dalam merangkul aspek keduanya-yang lantas menjadikan akhir dari filmnya sebagai akar dari sumber terjadinya masalah.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar