Jika Si Doel the Movie (2018) adalah sebuah perkenalan berbasis nostalgia-maka Si Doel the Movie 2 adalah pagelaran konflik cinta segitiga sebenarnya-yang kali ini menampilkan kapasitas penulisan naskah Rano Karna (turut merangkap sebagai sutradara) memperluas dinamika berbekal konflik yang mengalami kemajuan berupa kegamangan para karakternya yang menafsirkan persepsi seputar cinta dan pilihan.
Melanjutkan film pertamanya, Doel (Rano Karno) dan Mandra (Mandra) baru saja pulang ke Jakarta-yang mana membawa penonton menikmati nostalgia berupa pemandangan rumah Doel yang masih tetap sama. Kepulangan Doel di sambut bahagia oleh Atun (Suti Karno)-namun tidak dengan Zaenab (Maudy Koesnaedi) yang mencurigai bahwa suaminya bertemu dengan Sarah (Cornelia Agatha) ketika di Belanda.
Melalui sorot mata Zaenab-jelas ada sesuatu yang ia pendam berupa ketakutan bercampur kekhawatiran yang urung menemukan jawaban kepastian. Maudy Koesnaedi kembali memamerkan sensibilitas aktingnya dalam bermain bahasa tubuh, dapat terlihat dengan jelas keresahan seorang Zaenab hanya berbekal tingkah yang menjadi bukti kegamangannya pula ungkapan "baik-baik saja" yang sebenarnya tak baik-baik saja.
Rano Karno memfokuskan guliran kisahnya dominan lewat perspektif Zaenab (film pertamanya lewat sudut pandang Sarah) yang membuat penonton dengan gampang memberikan simpati terhadapnya. Semakin kompleks kala naskahnya berbenturan dengan persepsi karakter lainnya yang mana menciptakan sebuah jalan masing-masing yang tak berujung. Doel masih gamang dengan pilihannya, sementara Sarah merasa bahwa ia sumber masalahnya.
Semuanya memuncak dalam satu momen berbekal keinginan Dul (Rey Bong) untuk berlibur di Jakarta. Si Doel the Movie 2 adalah sebuah panggung dimana pergolakan batin dan perasaan berada di depan mata, dalam satu tempat yang menjadi arena pembuktian sebenarnya. Rano Karno memanfaakan kesempatan tersebut yang kemudian menciptakan sebuah panggung di mana sandiwara saling diterapkan.
Inilah alasan mengapa Si Doel the Movie 2 tampil lebih superior dibanding pendahulunya-yang bak sebuah pemanasan. Rano piawai menyuntikan rasa pula mengarahkan pengadeganan berbekal rumah ikonik Betawi miliknya sembari tetap menyuntikkan nuansa nostalgia dengan memasukan sebuah montase sinetronnya yang sangat melegenda itu.
Di samping sebagai wadah tempat tercurahnya rasa, Rano tak lantas berkubang pada sebuah pergolakan, dimunculkanlah bumbu komedi yang berhasil tepat sasaran lewat tingkah polah perilaku pula ucapan tanpa saring seorang Mandra yang tetap menjadi pusat pencuri perhatian.
Penyutradaraan Rano memang nihil sebuah cela-meski saya menyayangkan kuantitas filmnya yang kerap menghambat adegan, ini terjadi kala filmnya acap kali tampil meregang-yang menandakan seorang penangkap gambar tak cekatan, pun adegan tak substansial (clue: melibatkan oplet) menghiasi adegan-yang bahkan lebih baik jika dihilangkan-yang mana terasa kurang tepat penggunaannya untuk menyisipkan sebuah ciri khas.
Untungnya, semua keluhan tersebut seketika terlupankan ketika Maknyak (Aminah Cendrakasih) mulai melontarkan petuah penting bagi si Doel (pula penonton) yang hadir mendamaikan hati, disamping kebolehan unjuk emosi Aminah Cendrakasih yang dalam kekurangannya tak menghalanginya untuk menampilkan sebuah performa terbaik miliknya.
Rano juga telaten menjaga pace filmnya sembari menaburkan benih petunjuk selanjutnya yang akan lebih memanas. Jangan lupakan sebuah konklusi yang ampuh menyulut air mata membasahi pipi, sebuah bukti kegemilangan Rano dalam membungkus momen sederhana di mana sebuah ungkapan rasa karakternya ditampilkan. Rasanya belum pernah melihat adegan yang melibatkan parut kelapa memberikan sebuah dampak yang nyata terhadap penontonnya.
SCORE : 4/5
0 Komentar