Sebagai debut perdananya, Bene Dion Rajagukguk (sebelumnya menulis naskah Stip & Pensil, The Underdogs, dwilogi Warkop DKI Reborn, Suzzanna: Bernapas dalam Kubur) menghasilkan sebuah sajian receh, menggabungkan komedi-horor yang merakyat dan menyasar semua kalangan. Ghost Writer adalah bukti nyata bahwa film yang "merakyat" dalam artian mudah dicerna-nyatanya menghasilkan sebuah sensibilitas tinggi kala digarap dengan niat dan hati.
Naya (Tatjana Saphira) adalah seorang penulis novel yang sukses besar lewat novel pertamanya. Tiga tahun berselang, ia mengalami writer's block di mana ide yang ia torehkan acapkali ditolak sang penerbit-atau lebih tepatnya karena Naya enggan mengikuti selera pasar dan mempertahankan sikap idealis miliknya. Bagaimanapun juga, Naya butuh suntikan dana untuk tetap hidup dan menyekolahkan sang adik, Darto (Endy Arfian) di sekolah bergengsi. Keputusan untuk pindah ke sebuah rumah tua dengan harga murah pun ia lakukan.
Mengharapkan sebuah ide cemerlang berbekal ketenangan dalam upaya penulisan, hasilnya tetaplah nihil. Hingga kala Naya menemukan sebuah diari usang di loteng rumahnya, ia tertarik untuk menjadikannya sebagai novel berikutnya-yang kemudian disetujui sang penerbit. Masalah timbul ketika Galih (Ge Pamungkas), hantu pemilik diari tersebut menolak kisah hidupnya disalurkan dalam novel.
Ide cerita Ghost Writer bermula ketika sang produser, Ernest Prakasa tertarik akan sinopsis buatan Nonny Boenawan-yang merupakan murid kelas menulis skenario yang ia adakan, Nonny yang lantas menulis naskahnya bersama Bene melontarkan sebuah ide segar nan cemerlang sebagai sebuah dasar komedi-horor yang melontarkan sebuah pertanyaan: apa jadinya jika seorang ghost writer adalah sosok hantu asli?
Harus diakui, keberhasilan Ghost Writer bersumber dari naskahnya yang menyajikan sebuah wahana gelak tawa tanpa lupa akan sumber materi aslinya. Belajar banyak dari Ernest, Bene dan Nonny meminjam formula film khas Ernest-yang membawanya pada sebuah pengadeganan solid nan tepat sasaran. Membuka durasinya dengan sentuhan horor, kepiawan Bene terlihat jelas di sini-terlebih kala ia banting setir ke ranah komedi-yang tak lantas menjadikannya saling terdistraksi.
Itu terjadi ketika interaksi Naya-Galih yang menghasilkan sebuah komunikasi sarat tawa kala kebawelan Naya membuat Galih mati kutu. Pun, dalam menerapkan tuturan berupa persetujuan Galih yang menyetujui kisah hidupnya dimuat dalam novel, Bene tak lantas menjadikan hal tersebut instan, Galih menginginkan kebenaran kisahnya-sementara Naya terbentur saran sang penerbit-yang mana memadupadankan aspek tersebut menambah sebuah dinamika terhadap konflik yang nantinya Bene siapkan.
Benar saja, impak dari hal tersebut membawa Ghost Writer kembali menyentuh ranah drama terkait keluarga yang dalam penanganannya ampuh menyulut tangis. Latar belakang Galih digali-sekaligus sebagai upaya memberikan sebuah pesan terkait "bersosialisasi" yang sangat penting-yang membuka mata seseorang untuk tak mengambil sebuah tindakan secara instan.
Tatjana Saphira bermain apik sebagai Naya-meski ini bukan performa terbaik miliknya, sementara Ge Pamungkas unjuk gigi menyeimbangkan lakon komedi dan drama. Dayu Wijanto dan Slamet Rahardjo adalah "hati" film ini, memerankan sosok orang tua yang kehilangan sang putera sembari tetap tegak menjalani kehidupan. Bersiaplah kala keduanya saling mencurahkan rasa-yang secara tak sadar mengundang air mata.
Sama halnya dengan karya sang produser, Ghost Writer riuh oleh jajaran pelakon komika yang sumbangsih memberikan canda tawa. Misalnya karakter yang dimainkan oleh Muhadkly Acho sebagai Abdul dan Arie Kriting yang berperan sebagai Iwan, dua karyawan yang bekerja di tempat penerbit novel Naya-kerap cekcok dan memperdebatkan pandangan mereka seputar hal mistis, khususnya terkait kejadian bunuh diri-yang selaras dengan latar belakang hantu utama filmnya-disamping komedinya sejurus dengan konteks.
Bukan tanpa cela, Ghost Writer sarat akan kesan produksi murah (penyakit yang sering terjadi pada film buatan Starvision). Pun, demikian dengan riasan hantu Galih maupun Bening (Asmara Abigail) yang sebatas menabur bedak dan memasang lensa di tengah penerapan horor medioker yang diterapkan Bene. Namun itu bak sebuah cacat kecil yang tak sebanding dengan keseluruhan pencapaian yang dilakukan, sejalan dengan keberhasilan Deva Mahenra yang berani tampil norak guna mempersentasikan karakternya sebagai aktor sinetron kelas dua.
SCORE : 4/5
0 Komentar