Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE NIGHT EATS THE WORLD (2018)

Perlu saya tekankan sedari awal bahwa The Night Eats the World bukanlah sajian horor berbasis zombie konvensional-yang lebih mengedepankan serangan alih-alih penceritaan. Filmnya dibuka oleh sebuah pesta yang diadakan Fanny (Sigrid Bouaziz) mantan kekasih Sam (Anders Danielsen Lie) protagonis utama kita, Sam yang diundang dalam pesta tersebut menolak untuk menikmati pesta, terlebih kala Fanny mengenalkan sang kekasih baru kepadanya. Bisa dilihat dari raut muka Sam, bahwa sejatinya ia masih menyimpan perasaan terhadap sang mantan kekasih.
 
 
Sam yang seorang musikus hanya menginginkan kaset-kaset miliknya yang masih tersimpan di ruang kerja Fanny. Sam kemudian mengunci diri dan tertidur lelap dan mendapati keadaan telah berubah pasca ia bangun. Rumah sudah kosong tak terkira, bercak darah di mana-mana, hingga ketika ia membuka pintu-Fanny kini telah berubah menjadi sesosok mayat hidup yang hendak menyerangnya. Sam terjebak di tengah kerumunan kota Paris yang kini terserang wabah zombie.
 
 
Mudah untuk menebak bagaimana naskah garapan  Jérémie Guez (The Bouncer, Yves Saint Laurent) dan Guillaume Lemans (Point Blank, The Next Three Days) menuntun filmnya ke ranah survival movie berbasis horor kontemplatif yang menyentuh ranah studi karakter. Pun, sang sutradara debutan asal Prancis, Dominique Rocher mengamini hal tersebut dengan menampilkan kesunyian serta perjuangan Sam bertahan hidup.


Mulai dari meregulasi stok makanan, mencari pakaian hingga sesekali memainkan alat musik dari alat dapur, mayoritas durasi filmnya menampilkan hal demikian di tengah sebuah pencarian jalan keluar yang sukar ditemukan. Hingga nantinya akan bermuara pada sebuah pesan terkait "keluarlah, dan temukan jalan keluar!".


Seiring hari berganti, Sam mendapati dirinya sendiri dan membutuhkan pendamping. Sukar untuk tak menolak bahwa manusia adalah makhluk sosila-yang membutuhkan teman. Dalam salah satu adegan ia mencoba menangkap kucing guna dijadikan teman atau sesekali mengajak Alfred (Denis Lavant) zombie yang ia kurung di lift berbicara.


The Night Eats the World tampil dingin sepanjang eksekusi, nihil sebuah tensi berupa serangan zombie-yang hanya tampil sesekali. Pun, sesekalinya tampil, pengadegannya kerap terasa tumpul, nyaris tanpa taji kala sang sutradara enggan melakukan sebuah modifikasi "baru" guna memancing sebuah atensi. Kita tahu Sam nantinya akan baik-baik saja, pun seiring berjalannya durasi-semuanya berjalan sesuai ekspetasi.


Berjalan pelan, kejenuhan kerap tak tertahankan. Ada sebuah kelokan yang Rocher tampilkan, ketika ia turut memasukkan karakter Sarah (Golshifteh Farahani) penyintas yang entah dari mana datangnya masuk ke ruang lingkup kehidupan Sam. Ini sama sekali urung menampilkan sebuah urgensi kala Rocher menampilkan hal tersebut belakangan, pun terkait penyutradaraan ia terlambat memberikan hati terhadap Sam-yang mana ini paling dibutuhkan ketika hendak menyalurkan sebuah koneksi terhadap penonton yang berujung pada sebuah kegagalan akibat keterlambatan.


Padahal, tersimpan setumpuk potensi guna dijadikan sebuah sajian yang berdaya tinggi. Rocher bermain dengan kesepian dan keputusasaan-yang mana emosi ini lazim mengiringi kehidupan. Aspek tersebut tersampaikan-meski tak sepenuhnya berdampak. The Night Eats the World menyajikan semuanya secara sederhana, terlampau sederhana malahan.


Sangat disayangkan pula talenta berbakat macam Denis Lavant urung tersalurkan. Hingga sebuah konklusi di tampilkan, The Night Eats the World urung melakukan sebuah gebrakan selain senantiasa berada pada jalur nyaman. Ini tentu berbanding terbalik dengan pesan yan hendak disampaikan.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar