Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

HAUNT (2019)

Satu hal pasti yang membedakan Haunt dengan horror-slasher bertemakan halloween adalah sebuah kesederhanaan-yang mengantarkan eksekusinya pada sebuah pacing tepat sasaran dan timing sempurna. Menandai pertama kalinya dua penulis A Quiet Place (2018), Scott Beck dan Bryan Woods berkolaborasi, Haunt yang menerapakan trope horor sederhana perihal sekelompok remaja yang haus akan sebuah tantangan dan keingintahuan ini tersaji cukup rapi dan punya hati di banding para pendahulunya.
 
 
Harper (Katie Stevens) adalah korban abusive relationship sang kekasih, Sam (Samuel Hunt) yang kerap melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Demi mengurangi ketakutan dan traumanya, ia lantas ikut pergi merayakan malam Halloween bersama teman sekamarnya, Bailey (Lauryn McClain) yang kemudian mengajak Angela (Shazi Raja), Mallory (Schuyler Helford), Evan (Andrew Caldwell) dan Nathan (Will Brittain), pria yang baru saja mereka kenal-untuk memasuki wahana rumah hantu. Tanpa mereka sadari, wahana tersebut rupanya menyajikan ketakutan pula kekerasan nyata guna menghilangkan nyawa mereka.
 
 
Seperti yang telah saya singgung, Beck dan Woods yang turut merangkap sebagai penulis naskah, tak memberikan sebuah modifikasi baru-selain menggunakan trope klasik nan formulaik. Tentu, ini bukan sebuah masalah yang patut untuk diperdebatkan selagi para pembuat menyajikan sebuah jalinan cerita yang runut alih-alih kusut. Haunt jelas memilih opsi pertama ketika lajur cerita dibiarkan mengalir seperti semestinya-yang nantinya turut ditambahkan background khusus bagi sang protagonis sebagai penunjang dalam balutan sebuah montase flashback.
 
 
Ini pula yang akan menghantarkan karakter utamanya pada sebuah motivasi, meski saya sangat menyayangkan keputusan sang sutradara yang tak memberi "daging" lebih bagi karakter lain selain Harper. Meski penyesalan ada, setidaknya para pembuat tak menjadikan mereka sebatas "calon korban", ada intensi khusus terkait sebuah perjuangan untuk hidup dan keluar dari wahana tersebut.
 
 
Haunt terhitung sebagai sajian thriller yang masih menggunakan logika-meski terdapat satu momen cacat (clue: ketika mereka merangkak memasuki lorong) yang mengenyahkan akal sehat. Setidaknya, hanya satu dan tak terlalu mempengaruhi jalinan penceritaan yang tampil kompleks ketika masing-masing ruangan menyimpan sebuah ketertarikan dalam mencari sebuah petunjuk keluar, meski terlampau sederhana semisal menggunakan lemari atau scanner, terornya tampil efektif ketimbang Escape Room (2019) yang kaya akan properti namun nihil sebuah eksploitasi.
 
 
Haunt memang dijadikan sebagai popcorn movie pengisi penat di saat perayaan halloween datang, sah-sah saja menyebutnya sebagai popcorn movie yang masih memiliki isi-meski impresi pasca menontonnya takkan mengendap lama dalam memori. Saya tak akan melupakan bagaimana Haunt dengan antagonis mereka yang menggunakan topeng mampu menyulut ketakutan dan sesekali membawa kita masuk ke puncak di mana sebuah perasaan klaustrofobia hadir.
 
 
Terkait resolusi, Haunt memang tampil sederhana-meski keputusan menampilkan sebuah feedback pada sang protagonis menjelang konklusi patut diberikan apresiasi. Konklusinya dengan cerdas menutup jalinan cerita pula menandakan sang karakter utama sudah siap bahkan sigap menghadapi ketakutan terbesarnya, yakni sebuah trauma. 
 
 
SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar