Primal-selaku debut penyutradaraan seorang Nicholas Powell-yang memulai karirnya sebagai seorang stunt-man di judul macam The Bourne Identity (2002) hingga The Last Samurai (2003) bermain di ruang lingkup sempit, tepatnya di sebuah pesawat yang hendak berangkat ke Puerto Rico. Menggandeng Nicolas Cage sebagai bintang utama dan memerankan karakter bernama Frank Walsh, seorang pemburu ilegal yang selalu mencari skor tinggi dengan hewan jualannya.
Di hutan Brazil, ia baru saja mendapatkan jaguar putih langka-yang bernilai tinggi. Frank hendak menjualnya kepada para kolektor orang Amerika dengan menumpangi perahu menuju Puerto Rico bersama tawanan hewan liar lainnya. Keberangkatan Frank berbarengan dengan ditangkapnya Richard Loffler (Kevin Durand) mantan pembunuh bayaran yang kini seorang teroris dan hendak diektradisi ke Amerika secara rahasia. Sialnya, Loffler berhasil bebas dan menyulut kekacauan awak kapal pasca ia melepaskan sang jaguar putih berbahaya dari kandangnya.
Tentu anda mudah menebak bagaimana naskah garapan Richard Leder (Rag & Bone, The Suspect) berjalan-sebagaimana premis film serupa jamak diterapkan, guna mengakali kosongnya narasi, Primal praktis menampilkan aksi petak umpet antara Frank dan Loffler-yang nantinya akan melayangkan beberapa nyawa sebagai korban. Entah itu lewat cakaran monyet ataupun mati atas sebuah pengkhianatan. Elemen tersebut jelas familiar-yang mana urung dilakukan sebuah modifikasi dalam proses elaborasi.
Pun, dalam menampilkan deretan aksinya, Primal acap kali tampil tanggung. Beragam aksi baku hantam maupun tembakan pistol terasa kosong-akibat buruknya koreografi atau naskah yang urung memberikan ruang lebih. Pun, penokohan Frank sendiri nihil adanya sebuah karakterisasi kuat. Kita tahu bahwa Frank bukanlah orang baik, dan ketika konklusinya merubah karakter Frank menjadi sosok simpatik, sebuah kecanggungan atas perubahan tiba-tiba kerap mengganggu logika pula jalur penceritaan utama.
Selain Cage dan Durand, tak ada lagi karakter menarik yang mampu dikulik (kalau bukan karena kemalasan bercerita), kehadiran Famke Janssen sebagai Dr. Ellen Taylor tak seberapa berpengaruh pula membantu terhadap cerita, kehadirannya sebatas menghiasai layar, nihil adanya sebuah eksploitasi terhadap karakternya selain sebagai sosok wanita yang hendak diselamatkan dari sebuah modus operandi penculikan (lagi-lagi naskahnya tampil dangkal).
Ini sama menyedihkannya dengan penggunaan CGI filmnya yang kentara terlihat kasar (ini terlihat jelas pada jaguar). Alhasil, selama 97 menit durasi sama sekali urung terlihat adanya sebuah lonjakan maupun kelokan. Tak masalah jika menggunakan pola linier yang jamak diterapkan, dengan syarat sesui ketentuan. Primal jelas bukan tipikal film yang memiliki hal demikian, selain konklusi menggampangkan pula sarat ketidaklogisan (baca: perubahan sikap mendadak Frank) yang mana-seharusanya membutuhkan sebuah proses alih-alih sebuah penyederhanaan.
SCORE : 2/5
0 Komentar