Jaga Pocong
menandai dua talenta berbakat untuk pertama kali terjun ke ranah horor.
1) Acha Septriasa-yang selama ini kita kenal adalah salah satu aktris
terbaik tanah air, terutama kala ia tampil dalam momen dramatik. 2)
Hadrah Daeng Ratu-sutradara wanita yang jejak rekam filmnya meliputi dua
instalemen Mars Met Venus yang kocak itu, hingga Super Didi
sebagai drama keluarga yang tampil baik. Tentu saya bersemangat kala
mendapati kolaborasi keduanya-yang kemudian surut seketika kala
mengetahui jajaran penulis naskahnya yang digawangi oleh Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) berdasar ide Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak). Dari sini letak permasalahnnya!
Acha
Septriasa berperan sebagai Suster Mila, sosok suster berdedikasi dan
penuh prioritas tinggi. Itu terbukti kala ia di minta sang atasan untuk
menangani seorang pasien di rumah-meski waktu jaganya sudah habis.
Kicauan burung kedasih menemani perjalanan Mila yang hendak menuju rumah
sang pasien. Hadrah Daeng Ratu memulai sebuah clue dengan
meyakinkan sekaligus dekat dengan masyarakat-yang menganggap bahwa
kehadiran burung tersebut adalah pertanda akan adanya kematian.
Benar
saja, setibanya Mila sampai di rumah sang pasien, ia mendapati pasien
bernama Sulastri (Jajang C. Noer) sudah meninggal, mempertemukan Mila
dengan sang putera semata wayangnya, Radit (Zack Lee)-yang meminta Mila
untuk mengurus jenazah sang ibu-sebelum ia meminta kembali Mila untuk
menjaga pocong Sulastri-sementara Radit mengurus pemakaman.
Jaga Pocong
menampilkan barisan teror solid yang dekat dengan kehidupan
sehari-hari. Proses seperti memandikan, mengafani bahkan meletakkan
kapas pada hidung jenazah kerap kita lakukan (atau lihat). Ini pula yang
membuat sajian terornya sedemikian mengerikan, terlebih, Hadrah tahu
betul bagaimana membungkus momen tersebut hingga tersaji sarat
kengerian.
Hingga seiring durasi bergulir, Jaga Pocong
kian berubah 180 derajat-kala naskahnya bak berisi repetisi dan momen
malas (atau kosong) dari sang penulis naskah. Sang penulis tidak punya
daya untuk membuat mengisi barisan durasi guna menambal kosongnya plot
(yang bukan sebuah masalah jika ditangani dengan telaten) yang kemudian
melahirkan barisan dialog dangkal sarat momen bodoh tentunya.
Ya,
berbicara terkait sebuah karakterisasi, ia sama sekali tak memiliki
sebuah isi bahkan motivasi-yang membuat seorang Acha Septriasa
menelantarkan potensi terbesarnya dalam berolah rasa. Setidaknya satu
momen yang menampilkan Acha meringis bahkan menangis dapat dimanfaatkan
oleh sang sutradara-yang paham betul potensinya-hingga kala sebuah
teknik close-up diterapkan tersaji seperti semestinya-meski sukar
menolak melihat sang aktis bak tampil tanpa nyawa kala dituntut
melakoni adegan bodoh (sebutlah menarik kain kafan) sekalipun.
Paling
menjengkelkan ialah kala barisan dialog-nya yang bak ditulis oleh
seorang anak kecil. Tak terhitung banyaknya Mila meneriakan nama Novi
(Aqilla Herby), anak Radit yang ikut terjebak pada serangakian teror
mengerikan di rumah besar nan luas tersebut. Setidaknya, sekali lagi,
sang aktris tampil prima dibandingkan para pelakon sejawat yang
memerankan protagonis utama film horor dengan tampilan sosok bubur basi
sekalipun.
Konklusinya
mengkhianati proses utama filmnya. Untuk apa menampilkan pula
menghadirkan serangkaian teror pocong yang nihil komparasi dengan
tampilan twist utama filmnya. Ini seperti mengambil sebuah jalan
penuh rintangan lalu menyerah begitu saja ketika hendak sampai tujuan.
Tak ada kejelasan terkait konklusi pula twist ajaib miliknya
selain sebuah kalimat yang diandalkan sebagai jawaban. "Kenapa harus
saya?" dan jawabannya adalah "Ya memang harus kamu!". Baiklah, saya
menyerah!.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar