Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

JAGA POCONG (2018)

Jaga Pocong menandai dua talenta berbakat untuk pertama kali terjun ke ranah horor. 1) Acha Septriasa-yang selama ini kita kenal adalah salah satu aktris terbaik tanah air, terutama kala ia tampil dalam momen dramatik. 2) Hadrah Daeng Ratu-sutradara wanita yang jejak rekam filmnya meliputi dua instalemen Mars Met Venus yang kocak itu, hingga Super Didi sebagai drama keluarga yang tampil baik. Tentu saya bersemangat kala mendapati kolaborasi keduanya-yang kemudian surut seketika kala mengetahui jajaran penulis naskahnya yang digawangi oleh Aviv Elham (Alas Pati, Arwah Tumbal Nyai) berdasar ide Baskoro Adi Wuryanto (Jailangkung, Sakral, Gasing Tengkorak). Dari sini letak permasalahnnya!


Acha Septriasa berperan sebagai Suster Mila, sosok suster berdedikasi dan penuh prioritas tinggi. Itu terbukti kala ia di minta sang atasan untuk menangani seorang pasien di rumah-meski waktu jaganya sudah habis. Kicauan burung kedasih menemani perjalanan Mila yang hendak menuju rumah sang pasien. Hadrah Daeng Ratu memulai sebuah clue dengan meyakinkan sekaligus dekat dengan masyarakat-yang menganggap bahwa kehadiran burung tersebut adalah pertanda akan adanya kematian.


Benar saja, setibanya Mila sampai di rumah sang pasien, ia mendapati pasien bernama Sulastri (Jajang C. Noer) sudah meninggal, mempertemukan Mila dengan sang putera semata wayangnya, Radit (Zack Lee)-yang meminta Mila untuk mengurus jenazah sang ibu-sebelum ia meminta kembali Mila untuk menjaga pocong Sulastri-sementara Radit mengurus pemakaman.


Jaga Pocong menampilkan barisan teror solid yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Proses seperti memandikan, mengafani bahkan meletakkan kapas pada hidung jenazah kerap kita lakukan (atau lihat). Ini pula yang membuat sajian terornya sedemikian mengerikan, terlebih, Hadrah tahu betul bagaimana membungkus momen tersebut hingga tersaji sarat kengerian.


Hingga seiring durasi bergulir, Jaga Pocong kian berubah 180 derajat-kala naskahnya bak berisi repetisi dan momen malas (atau kosong) dari sang penulis naskah. Sang penulis tidak punya daya untuk membuat mengisi barisan durasi guna menambal kosongnya plot (yang bukan sebuah masalah jika ditangani dengan telaten) yang kemudian melahirkan barisan dialog dangkal sarat momen bodoh tentunya.


Ya, berbicara terkait sebuah karakterisasi, ia sama sekali tak memiliki sebuah isi bahkan motivasi-yang membuat seorang Acha Septriasa menelantarkan potensi terbesarnya dalam berolah rasa. Setidaknya satu momen yang menampilkan Acha meringis bahkan menangis dapat dimanfaatkan oleh sang sutradara-yang paham betul potensinya-hingga kala sebuah teknik close-up diterapkan tersaji seperti semestinya-meski sukar menolak melihat sang aktis bak tampil tanpa nyawa kala dituntut melakoni adegan bodoh (sebutlah menarik kain kafan) sekalipun.


Paling menjengkelkan ialah kala barisan dialog-nya yang bak ditulis oleh seorang anak kecil. Tak terhitung banyaknya Mila meneriakan nama Novi (Aqilla Herby), anak Radit yang ikut terjebak pada serangakian teror mengerikan di rumah besar nan luas tersebut. Setidaknya, sekali lagi, sang aktris tampil prima dibandingkan para pelakon sejawat yang memerankan protagonis utama film horor dengan tampilan sosok bubur basi sekalipun.


Konklusinya mengkhianati proses utama filmnya. Untuk apa menampilkan pula menghadirkan serangkaian teror pocong yang nihil komparasi dengan tampilan twist utama filmnya. Ini seperti mengambil sebuah jalan penuh rintangan lalu menyerah begitu saja ketika hendak sampai tujuan. Tak ada kejelasan terkait konklusi pula twist ajaib miliknya selain sebuah kalimat yang diandalkan sebagai jawaban. "Kenapa harus saya?" dan jawabannya adalah "Ya memang harus kamu!". Baiklah, saya menyerah!.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar