Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

POCONG: THE ORIGIN (2019)

Nama Monty Tiwa mungkin kurang mendominasi dalam melahirkan sajian horor, namun beliau adalah dalang di balik terciptanya Pocong 2 (2006) serta adegan menyeramkan pocong dalam Keramat (2009). Meskipun hanya menelurkan dua film horor, Monty Tiwa adalah orang di balik cerita Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF) akibat memuat tragedi 1998 di dalamnya yang bisa menyulut perpecahan. Pocong: The Origin adalah karya horror ketiga (atau lebih tepatnya kedua karena di Pocong 2 ia bertibdak sebagai penulis naskah) yang jika boleh meminjam kata Monty Tiwa dalam sebuah wawancara adalah “reinkarnasi” dari cerita Pocong-yang sampai sekarang tak diketahui cerita utuhnya.



Ananta (Surya Saputra) adalah seorang pembunuh berantai yang tengah menunggu hari penghakiman atas perbuatannya. Ketika hendak melakukan eksekusi, Ananta yang dijatuhi hukuman mati sulit untuk dilenyapkan nyawanya. Untuk itu, para petugas lapas memanggil Sasthi (Nadya Arina) anak semata wayang Ananta yang konon dapat melenyapakn nyawa sang ayah-yang ditengarai memiliki ilmu banaspati.


Masalah tak hanya sampai di situ saja, Sasthi di minta para petugas untuk mengantar jenazah sang ayah ke Cimacan, kampung halamannya. Karena jikalau dalam waktu 24 jam jenazah tak dikuburkan, ilmu banaspati akan mengancam. Bersama Yama (Samuel Rizal) si sipir penjara, Sasthi harus menempuh perjalanan penuh bencana.


Mengawinkan genre horor dengan elemen road trip movie jelas sesuatu hal yang langka, Pocong: The Origin jelas patut di apresiasi berkat tampilan bedanya-yang kemudian turut memasukan unsur komedi sebagai pencair suasana, mengingatkan sekaligus memberikan sebuah penghormatan bagi film horor Indonesia pada era 80-an, ketika nama Suzzana begitu jaya di dalamnya. Terlebih, keputusan Monty dalam memakai lagu keroncong seperti tembang Di Bawah Sinar Purnama milik Sundari Soekotjo memberikan nuansa mistisme menguar secara alamiah. Karena seperti yang telah banyak di utarakan, musik keroncong memiliki unsur mistis tersendiri, selain sebagai sebuah karya seni.


Dimulai dengan begitu menjanjikan, Pocong: The Origin harus menerima kenyataan bahwa naskah garapan sang sutradara bersama Eric Tiwa (Laskar Pelangi, Barkati) tak menyimpan sebuah jalinan cerita yang kuat untuk membangun sebuah penceritaan yang utuh, salah satunya adalah latar belakang Ananta yang nihil sebuah elaborasi lebih, kita hanya mendengar bahwa ia sebagai pembunuh berantai, tapi bukti yang menguatkannya urung terasa.


Pun, pengisahan terkait ilmu banaspati urung dijelaskan secara runut. Para penulisnya lupa akan latar belakang yang membangun filmnya-sementara mereka sibuk memikirkan dan menampilkan rentetan momen penampakan yang akan menghalangi perjalanan Sasthi-Yama yang kemudian berlabuh pada sebuah momen repetitif dengan pola yang sama: Yama yang kebelet pipis atau keduanya yang sibuk mencari dan mengeluhkan signal.


Keputusan untuk mengurangi jumpscare patut dihargai, Monty bahkan melahirkan satu momen menyeramkan yang melibatkan musholla di dalamnya. Sementara untuk penampakan sang hantu tituler urung memberikan sebuah momen penampakan yang mengesankan, potensinya jelas disia-siakan.


Padahal, Pocong adalah salah satu hantu lokal yang paling menyeramkan. Monty sepertinya lupa (atau enggan) untuk menampilkan sebuah momen ikonik seperti yang pernah ia lakukan di Keramat (2009), eksploitasi terkait hantu utamanya jelas kurang, adegan jenazah menggelinding yang turut melibatkan keranda mayat tak memberikan dampak serupa-meski terkait unsur komedi miliknya beberapa tampil tepat sasaran, salah satunya melibatkan pengendara motor di dalamnya.


Selain kisah mengenai Sasthi-Yama, hadir pula seorang jurnalis bernama Jayanthi (Della Dartyan) yang menuntut balas atas kematian keluarga sekaligus teman dekatnya yang merupakan korban Ananta. Ketimbang memperkaya dan memperluas jalinan penceritaan, kehadirannya malah mengganggu. Jayanthi melakukan konfrontasi terhadap Sasthi yang berujung melahirkan sebuah adegan adu mulut kurang emosi maupun rasa.


Jajaran pemainnya menampilkan performa meyakinkan, khususnya Samuel Rizal yang kini tak terjebak pada tokoh Adit dalam Eiffel...I’m in Love, pasca Target ia jelas mengambil keputusan yang benar. Nadya Arina tampil menyalurkan sebuah emosi kala ia begitu menyayangi sang ayah meski sulit menampik bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh berantai yang telah melenyapkan nyawa orang tak bersalah. Sementara Della Dartyan sama sekali tak memberikan sumbangsih terhadap penceritaan, bahkan jika karakternya di hilangkan pun takkan menampilkan sebuah permasalahan.


Permasalahan lain yang menimpa Pocong: The Origin adalah konklusi terlampau menggampangkan pasca munculnya blood moon-yang memberi kekuatan lebih terhadap banaspati, eksekusinya tak menghadirkan sebuah penebusan setimpal. Monty menutup kisahnya amat buru-buru, dapat terselesaikan hanya dalam satu tindakan-yang kemudian menghadirkan penutup antiklimaks yang tak seharusnya terjadi di tengah setumpuk potensi yang gagal terealisasi.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar