Nama Monty Tiwa mungkin
kurang mendominasi dalam melahirkan sajian horor, namun beliau adalah dalang di
balik terciptanya Pocong 2 (2006) serta adegan menyeramkan pocong dalam Keramat
(2009). Meskipun hanya menelurkan dua film horor, Monty Tiwa adalah orang di
balik cerita Pocong (2006) yang dilarang tayang oleh Lembaga Sensor Film (LSF)
akibat memuat tragedi 1998 di dalamnya yang bisa menyulut perpecahan. Pocong:
The Origin adalah karya horror ketiga (atau lebih tepatnya kedua karena di
Pocong 2 ia bertibdak sebagai penulis naskah) yang jika boleh meminjam kata
Monty Tiwa dalam sebuah wawancara adalah “reinkarnasi” dari cerita Pocong-yang
sampai sekarang tak diketahui cerita utuhnya.
Ananta (Surya Saputra)
adalah seorang pembunuh berantai yang tengah menunggu hari penghakiman atas
perbuatannya. Ketika hendak melakukan eksekusi, Ananta yang dijatuhi hukuman
mati sulit untuk dilenyapkan nyawanya. Untuk itu, para petugas lapas memanggil
Sasthi (Nadya Arina) anak semata wayang Ananta yang konon dapat melenyapakn
nyawa sang ayah-yang ditengarai memiliki ilmu banaspati.
Masalah tak hanya sampai
di situ saja, Sasthi di minta para petugas untuk mengantar jenazah sang ayah ke
Cimacan, kampung halamannya. Karena jikalau dalam waktu 24 jam jenazah tak
dikuburkan, ilmu banaspati akan mengancam. Bersama Yama (Samuel Rizal) si sipir
penjara, Sasthi harus menempuh perjalanan penuh bencana.
Mengawinkan genre horor
dengan elemen road trip movie jelas sesuatu hal yang langka, Pocong: The Origin
jelas patut di apresiasi berkat tampilan bedanya-yang kemudian turut memasukan
unsur komedi sebagai pencair suasana, mengingatkan sekaligus memberikan sebuah
penghormatan bagi film horor Indonesia pada era 80-an, ketika nama Suzzana
begitu jaya di dalamnya. Terlebih, keputusan Monty dalam memakai lagu keroncong
seperti tembang Di Bawah Sinar Purnama milik Sundari Soekotjo memberikan nuansa
mistisme menguar secara alamiah. Karena seperti yang telah banyak di utarakan,
musik keroncong memiliki unsur mistis tersendiri, selain sebagai sebuah karya
seni.
Dimulai dengan begitu
menjanjikan, Pocong: The Origin harus menerima kenyataan bahwa naskah garapan
sang sutradara bersama Eric Tiwa (Laskar Pelangi, Barkati) tak menyimpan sebuah
jalinan cerita yang kuat untuk membangun sebuah penceritaan yang utuh, salah
satunya adalah latar belakang Ananta yang nihil sebuah elaborasi lebih, kita
hanya mendengar bahwa ia sebagai pembunuh berantai, tapi bukti yang
menguatkannya urung terasa.
Pun, pengisahan terkait
ilmu banaspati urung dijelaskan secara runut. Para penulisnya lupa akan latar
belakang yang membangun filmnya-sementara mereka sibuk memikirkan dan
menampilkan rentetan momen penampakan yang akan menghalangi perjalanan
Sasthi-Yama yang kemudian berlabuh pada sebuah momen repetitif dengan pola yang
sama: Yama yang kebelet pipis atau keduanya yang sibuk mencari dan mengeluhkan
signal.
Keputusan untuk mengurangi
jumpscare patut dihargai, Monty bahkan melahirkan satu momen menyeramkan yang
melibatkan musholla di dalamnya. Sementara untuk penampakan sang hantu tituler
urung memberikan sebuah momen penampakan yang mengesankan, potensinya jelas
disia-siakan.
Padahal, Pocong adalah
salah satu hantu lokal yang paling menyeramkan. Monty sepertinya lupa (atau
enggan) untuk menampilkan sebuah momen ikonik seperti yang pernah ia lakukan di
Keramat (2009), eksploitasi terkait hantu utamanya jelas kurang, adegan jenazah
menggelinding yang turut melibatkan keranda mayat tak memberikan dampak
serupa-meski terkait unsur komedi miliknya beberapa tampil tepat sasaran, salah
satunya melibatkan pengendara motor di dalamnya.
Selain kisah mengenai
Sasthi-Yama, hadir pula seorang jurnalis bernama Jayanthi (Della Dartyan) yang
menuntut balas atas kematian keluarga sekaligus teman dekatnya yang merupakan
korban Ananta. Ketimbang memperkaya dan memperluas jalinan penceritaan,
kehadirannya malah mengganggu. Jayanthi melakukan konfrontasi terhadap Sasthi yang
berujung melahirkan sebuah adegan adu mulut kurang emosi maupun rasa.
Jajaran pemainnya
menampilkan performa meyakinkan, khususnya Samuel Rizal yang kini tak terjebak
pada tokoh Adit dalam Eiffel...I’m in Love, pasca Target ia jelas mengambil
keputusan yang benar. Nadya Arina tampil menyalurkan sebuah emosi kala ia begitu
menyayangi sang ayah meski sulit menampik bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh
berantai yang telah melenyapkan nyawa orang tak bersalah. Sementara Della
Dartyan sama sekali tak memberikan sumbangsih terhadap penceritaan, bahkan jika
karakternya di hilangkan pun takkan menampilkan sebuah permasalahan.
Permasalahan lain yang
menimpa Pocong: The Origin adalah konklusi terlampau menggampangkan pasca
munculnya blood moon-yang memberi kekuatan lebih terhadap banaspati,
eksekusinya tak menghadirkan sebuah penebusan setimpal. Monty menutup kisahnya
amat buru-buru, dapat terselesaikan hanya dalam satu tindakan-yang kemudian
menghadirkan penutup antiklimaks yang tak seharusnya terjadi di tengah setumpuk
potensi yang gagal terealisasi.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar