Selaku remake-yang berarti
mengenyahkan Hellboy (2004) dan Hellboy: The Golden Army (2008) buatan
Guillermo del Torro-yang kini kursi sutradaranya ditempati oleh Neil Marshall
(The Descent, Doomsday, Centurion), Hellboy versi terbaru ini dibuat hanya sebatas
menuruti para fan service dari Dark Horse Comics tanpa adanya sebuah urgensi
lebih terkait penceritaan-selain setia menggambarkan asal-muasal sang tituler
karakter yang sepenuhnya persis dengan komik rekaan Mike Mignolia.
Sebagai sajian hiburan, Hellboy
jelas mampu menampilkan sebuah kesenangan sesaat yang takkan lama mengendap di
ingatan terkecuali scoring Benjamin Wallfisch (It, Annabelle: Creation, A Cure
for Wellness) yang senantisa memberikan sebuah sentuhan musik rock kala Hellboy
(David Harbour) melayangkan sebuah pukulan bahkan serangan yang dibungkus dalam
metode quick-cuts.
Kisahnya sendiri akan
menjelaskan perihal asal-usul Hellboy yang ditemukan dan kemudian diasuh oleh
Bruttenhom (Ian McShane) anggota B.P.R.D (Bureau for Paranormal Research &
Defense) yang memiliki tugas untuk mempelajari bahkan mengatasi segala hal yang
berhubungan dengan mistis. Hellboy yang turut membantu sang ayah kemudian dihadapkan
pada sebuah ancaman yang mengganggu keselamatan dunia.
Ancaman itu datang dari
Nimue (Milla Jovovich) si Ratu Darah yang dihidupkan kembali pasca dimutilasi
tubuhnya oleh King Arthur (Mark Stanley) oleh pedang Excalibiur. Bangkitnya Nimue yakni ingin
membalaskan dendam pula mengajak Hellboy untuk menguasai dunia. Hellboy tentu
tak diam saja, bersama seorang cenayang yang pernah ia bantu, Alice Monagahan
(Sasha Line) dan anggota M-11, Ben Daimio (Daniel Dae Kim) mencegah niatan
Nimue dengan memusnahkannya.
Naskah garapan Andrew
Cosby jelas memilih opsi sederhana dengan mengikuti formula khas sajian blockbuster,
tentu bukan sebuah kesalahan asalkan digarap dengan semestinya. Namun, harapan
tersebut urung terjadi akibat kurangnya sebuah urgensi terkait narasi-yang
tampil lemah akibat ketiadaan pondasi kuat di dalamnya.
Ya, itu kentara
terasa-yang kemudian ditutupi Marshall oleh sajian spectacle pemuas mata dengan
menambah bahkan meliptagandakan gore yang terlihat nyata (meski di beberapa
adegan CGI-nya terlihat kasar). Parade potongan tubuh sarat kekerasan dan
banjir darah ditampilkan-yang justru berujung pada sebuah kehampaan.
Meski David Harbour tampil
meyakinkan dengan sentuhan komikal yang menjauhkannya dari kesan dark-yang
dimiliki Perlman, Milla Jovovich harus kena batunya akibat karakter antagonis
yang dimainkan bak nihil sebuah peranan meyakinkan sebagai seorang villain yang
digambarkan mampu meremukan badan. Kurangnya karakterisasi menyulitkan penonton
untuk meyakini akan intensinya, setidaknya pembawaan Jovovich sedikit
memberikan nyawa lewat sorot tajam matanya.
Dalam penuturannya,
Marshall kerap menampilkan sebuah kecanggungan. Entah ini berasal dari sumber
naskahnya atau pengadeganan miliknya. Hellboy terbata-bata ketika menuturkan
sebuah background tokohnya, meski dapat dimengerti lewat sebuah montase
singkat. Pengadeganan miliknya justru kerap salah tempat, tengok ketika ia
menjelaskan latar belakang Alice atau urungnya penjelasan terkait kekuatan Ben.
Itu juga terjadi kala
Marshall menempatkan beragam genre dari mulai jumpscare khas film horor hingga
drama mengharu biru yang berujung pada terciptanya sebuah distraksi. Horornya
tak menyulut sebuah ketakutan, sementara drama-nya tampil bak sajian opera
sabun nihil kedalaman apalagi rasa.
Hingga tatkala Hellboy
hendak melakukan sebuah penebusan, intensinya gampang di tebak di tengah
kenyataan bahwa Marshall menerapkan metode menggampangkan guna menutup
kisahnya. Tak ada sebuah kepuasan kala sang tituler berhasil melumpuhkan sang
penjahat, terlebih momennya dibungkus terlampau buru-buru, menggambarkan sebuah
kebingungan yang sudah tercium aromanya sedari awal. Sialnya, Hellboy harus
merasakan itu semua.
SCORE : 2/5
0 Komentar