Lukisan Ratu Kidul-yang
digarap oleh Ginanti Rona (Midnight Show, Anak Hoki) setidaknya menjadi film
terbaik Dee Company. Itu-yang saya rasakan kala menikmati separuh awal durasi.
Dalam hati saya berkata “Mungkin kali ini Dheeraj Kalwani sudah menemukan
formula-yang tepat”. Niat baik yang awalnya saya berikan kepada filmnya
seketika luntur, kala Lukisan Ratu Kidul mulai menampakkan jati dirinya-yang
sebenarnya.
Mengetengahkan kisah
seorang kakak-beradik, Dimas (Teuku Zacky) dan Satria (Wafda Saifan)-yang
menerima sebuah warisan rumah peninggalan mendiang sang ayah. Rumah-yang
menjadi tempat masa kecil mereka ini tak memiliki kenangan sedikitpun, bahkan
di rumah tersebut-nyaris tak ada foto sekalipun. Bersama Astrid (Ussy
Sulistiawaty) istri Dimas, pula turut memboyong Sandra (Annisa Aurelia) sang
buah hati, mereka memutuskan untuk menetap sementara sembari memikirkan langkah
selanjutnya.
Ditengah kebingungan-yang
melanda, datanglah Kevin (Fadika Royandi) menawarkan diri untuk mencarikan
pembeli. Dimas-yang tengah dilanda kesulitan finansial menyetujui untuk menjual
rumah tersebut kepada klien Kevin-yang seorang kolektor lukisan Nyi Roro Kidul
(Wawan Wanisar) hasil torehan tangan kakek Dimas, Rusdi Soedibyo (Egi
Fedly)-yang dipercaya mempunyai kekuatan mistis dan dipercaya dapat
mendatangkan keberuntungan bagi siapa saja-yang memilikinya.
Sang kolektor mengaku
bahwa dia meminta dibuatkan lukisan oleh Rusdi sebanyak 13 lukisan. Namun, sang
kakek baru membuatkannya 12 lukisan. Dia percaya bahwa lukisan ke-13 berada di
rumah tersebut, bahkan dia pun berani menawar 8 milyar rupiah guna menebusnya.
Dari sini pikiran saya terganggu dengan sebuah pertanyaan: Mengapa Rusdi baru
meniupkan kekuatan mistis pada lukisan ketigabelas? Mengapa sang kolektor tak
meminta diterapkan kekuatan mistisnya dilukisan sebelumnya? Bukankah hal
tersebut akan menghemat durasi pula uang?
Jangan harap pertanyaan
tersebut akan menemukan jawaban, itu hanyalah akal-akalan Husein M Atmodjo
(Midnight Show, 22 Menit, Perjanjian dengan Iblis) guna menggulirkan
penceritaan. Mungkin salah saya mengharapkan sebuah kelogisan cerita dari
tontonan-yang sejak awal tak memperhatikan logika.
Menuju pertengahan durasi,
Lukisan Ratu Kidul semakin menjadi-jadi, mulai dari perpindahan
antar-adegan-yang sangat kasar, penceritaan-yang semakin janggal hingga komparasi
adegan-yang teramat jomplang. Sangat terasa benar, seolah ada beberapa
shoot-yang menghilang-mengikuti ibu Dimas dan Satria-entah di mana rimbanya.
Meskipun demikian,
sensitivitas penyutradaraan Ginanti Rona masih terasa potensinya, sebut saja
terkait penempatan jumpscare-yang sesuai timing-meski sosok hantunya sendiri
terbilang medioker. Hingga ketika musik scoring garapan Ricky Lionardi
(Rectoverso, Danur 2: Maddah, Tembang Lingsir) mengiringi, semuanya rusak
sudah. Pasalnya musik garapan Ricky sendiri
gemar memecah telinga, bahkan mengalahkan speaker hajatan sekalipun.
Saya masih mengharapkan
secercah cahaya dari film ini, hingga kala sebuah twist tiba-tiba hadir-malah
semakin merusak filmnya. Twist-yang disajikan secara tiba-tiba itu kembali
mengangkat unsur okultisme terhadap Iblis. Lalau dari mana elaborasi terkait
misteri Kanjeng Ratu Nyi Ratu Kidul?
Aneh memang, memasang
judul “Ratu Kidul” tanpa memasukkan unsur cerita terhadapnya. Mungkin judulnya
sendiri sengaja dipasang demi menarik penasaran penonton-kemudian memunculkan
twist kembali? Dari sini saya mulai menyerah, dan dengan lantang berkata "TERSERAH!"
SCORE : 1.5/5
0 Komentar