Peter Rabbit selaku
adaptasi lepas tulisan karya Beatrix Potter membawa penonton untuk
bersenang-senang tanpa memikirkan subplot berbobot. Menghadirkan sebuah
tontonan eskapisme pelepas penat-yang ampuh menyulut tawa. Demikian tujuan
utama film hasil garapan Will Gluck (Easy A, Friends with Benefits, Annie) yang
turut merangkap sebagai penulis naskah bersama Rob Lieber. Mempadupadankan
gelaran animasi live-action bersama guliran kisah tipis miliknya tentu bukan
sebuah masalah.
Peter (James Corden) adalah
kelinci nakal-yang selalu mencuri sayuran dan wortel di kebun milik McGregor
(Sam Neill) lelaki tua pemarah-yang amat membenci kelinci, bahkan ia pernah
membunuh dan memasak ayah Peter guna dibuat pie. Suatu ketika, McGregor
mengalami serangan jantung dan wafat pada waktu mengejar Peter. Peter bersama
sepupunya, Benjamin (Coin Moody) dan ketiga adiknya: Mopsy (Elizabeth Debicki),
Flopsy (Margot Robbie) dan Cotton-Tail (Daisy Ridley) merasa senang dan berhak
atas rumah McGregor hingga mengadakan sebuah pesta binatang secara
besar-besaran.
Kesenangan itu tak
berlangsung lama pasca kedatangan Thomas (Domnhall Gleeson), sepupu McGregor
yang mewarsi seluruh warisan peninggalannya. Dari sini konflik dimulai, kala
kenekatan Peter harus berhadapan dengan kesigapan Thomas. Terjalinlah sebuah
permusuhan yang meruncing saban waktu bahkan saban hari.
Peter Rabbit meminjam
formula yang melekat pada animasi Tom & Jerry, kala hubungan friend-enemy
kerap diterapkan dan dieksploitasi oleh Gluck, bahkan salah satu perangkap yang
digunakan Peter melibatkan pegangan garpu hingga yang paling ampuh berupa
tegangan listrik. Tentu hal tersebut menjadi sebuah kesenangan tersendiri bagi
penonton kala menyaksikan sebuah siksaan terhadap karakter manusia-yang kerap
terkalahkan oleh kejeniusan seekor kelinci.
Di tengah permusuhan
keduanya, hadir Bea (Rose Byrne) tetangga Thomas-yang selalu melindungi Peter
bersama kelinci lain dari serangan McGregor. Itu terjadi sebelum Bea dan Thomas
resmi berpacaran. Dari sini kita melihat Gluck dan Lieber berpetuah perihal
cinta lewat sudut pandang Peter. Bahwa cinta seharusnya di bagi bukan menjadi
obsesi tersendiri.
Dari sana pula Peter
Rabbit melontarkan sebuah pesan tersendiri, khususnya terkait pemaknaan
terhadap bersikap jujur dan menjadi diri sendiri. Namun, hal demikian bukanlah
fokus utama filmnya, Gluck tetap mengedepankan aksi bersenang-sengang-yang
kerap dilipatgandakan. Sementara di sisi lain, selipan slapstick comedy
menenemani-yang meski tersaji hit-and-miss, setidaknya mampu memunculkan
perasaan gemas tersendiri kala melihat tingkah polah para kelinci pula seekor
babi-yang gemar menmpercantik diri dengan menggunakan lip-gloss pink merona.
James Corden begitu
berjasa menghidupkan karakterisasi Peter berbekal suara miliknya, meski menempatan
nama tenar macam Margot Robbie maupun Daisy Ridley tak lebih sebagai penarik
tersendiri di tengah-kurangnya intensi lebih selain memeriahkan suasana. Pujian
patut dialamatkan kepada Domnhall Gleeson-yang mampu menjadi sosok menyebalkan,
gemar berteriak histerikal kala ditimpa masalah, di samping romansanya bersama
Rose Byrne gagal tampil manis seperti seharusnya.
Bukan tanpa kekurangan,
penyutradaraan Gluck terasa draggy kala beralih medium dari komedi ke drama.
Itu tersaji di third-act-nya yang terkesan terburu-buru demi mengejar kuota
durasi 97 menit. Bukan sebuah permasalahan yang fatal pula tak berujung
melucuti hasil akhirnya. Meskipun demikian, hal tersebut dapat dimafhumi
mengingat Peter adalah sosok kelinci yang menggunakan jaket tanpa celana. Lantas
apakah kesubtilan diberlakukan pada tontonan semacam ini?
SCORE : 3.5/5
0 Komentar