Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

PEREMPUAN TANAH JAHANAM (2019)

Butuh waktu 10 tahun untuk merealisasikan Perempuan Tanah Jahanam ke layar lebar-yang menurut sang sutradara, Joko Anwar (A Copy of My Mind, Pengabdi Setan, Gundala) dibutuhkan waktu yang tepat pula penggarapan yang benar-benar matang. Alasan tersebut kuat adanya. Ini yang membuat saya selalu kagum terhadap sang sutradara, kala moralitas, kreativitas hingga kualitas selalu ia terapkan dalam filmnya. Perempuan Tanah Jahanam adalah sebuah bukti nyata anggapan tersebut.

Itu terjadi semenjak opening sequnce-nya berlangsung, kala kamera hasil bidikan Ical Tanjung menangkap aktivitas Maya (Tara Basro) dan Dini (Marissa Anita), dua sahabat-yang tengah menghabiskan shift malam dengan obrolan santai sembari menjaga tol gerbang. Joko yang turut merangkap sebagai penulis naskah memamerkan kreativitasnya dalam merangkai obrolan kasual meyakinkan dan menyenangkan, sembari menyelipkan beragam clue mendatang bagi filmnya.

Obrolan santai tersebut berubah mencekam kala Joko mulai melakukan pemanasan, Maya mendapati dirinya diikuti oleh seseorang pria yang mencoba membunuhnya. Dari sini, naskahnya menyibak sebuah rahasia. Maya akhirnya mengetahui keluarga juga kampung halamannya-yang terletak di Desa Harjosari. Di tengah kesulitan finansial-yang menimpa, Maya dan Dini yang bermula mencari harta warisan keluarga tak menyadari bahwa marabahaya siap menjemput mereka.

Seperti yang telah Joko bilang, Perempuan Tanah Jahanam adalah horor atmosferik-yang menekankan kengerian. Itu terasa sedemikian kuat, ketika "sense of impending doom" kerap Joko terapkan-yang kemudian membawa penonton pada perasaan harap-harap cemas-yang jarang saya temukan pada film horor belakangan. Jumpscare diterapkan, namun jauh dari kesan murahan. Perempuan Tanah Jahanam mungkin tak semencekam dan sekreatif Pengabdi Setan, terlihat dengan jelas sebuah pembawaan yang meyakinkan.

Sekilas penduduk Desa Harjosari nampak terlihat ramah, termasuk sang kepala desa, Ki Saptadi (Ario Bayu) yang tinggal bersama sang ibu, Nyi Misni (Christine Hakim). Namun, aroma keanehan dan ketidakberesan tercium pekat dari karakternya. Demikian pula dengan salah satu wanita hamil bernama Ratih (Asmara Abigail) yang kebenarannya sukar ditebak. 

Kecemasan semakin kuat kala Dini mengambil sebuah keputusan nekat, keputusan ini seolah berlaku sebagai sebuah jembatan bagi pesta kebrutalan sang sutradara. Joko membawa penonton perlahan demi perlahan merasakan ketidaktenangan, setelah sebelumnya barulah diperlihatkan puncak ketakutan. Beruntung pula, para pemain seperti Tara Basro maupun Marissa Anita mampu mewujudkan keinginan Joko-yang selalu membiarkan para aktornya tampil natural dalam menyampaikan sebuah ketakutan di tengah kondisi darurat. Tambahan apreasiasi lebih patut diterima oleh Marissa Anita, selain piawai menampilkan ketakutan, sang aktris piawai mencuri perhatian lewat gaya bicara "nyablak" yang diterapkan.

Di samping memberikan sebuah teror yang berada pada level jahanam, Joko turut menyampaikan pesan pula kritik penting terhadap situasi dewasa ini. Entah itu kepada pemerintah, agama hingga sebuah hal yang dianggap tabu seperti keperawanan. Semuanya Joko tampilkan secara tersirat, lewat sebuat metafora dan analogi yang begitu cerdas tanpa harus mengganggu muatan cerita.

Perempuan Tanah Jahanam mungkin minim jumpscare, tapi Joko menggunakan sebuah pemandangan mengerikan sebagai penyulut ketakutan. Hingga kala bertemu dengan beragam kekerasan yang ditampilkan (saya tak akan menyebut detailnya seperti apa), ketakutan tampil dua kali lipat tanpa adanya sebuah batasan menghambat. Bukti seorang Joko Anwar adalah salah satu sutradara hebat.

Berbicara mengenai segi artistik, Perempuan Tanah Jahanam mempunyai support system-yang tak kalah hebat. Entah itu berasal dari scoring otentik gubahan Aghi Narottama, Bemby Gusti, Tony Merle pula Mian Tiara maupun production designer hasil Frans Paat-yang selalu menekankan kesan natural dengan kultur pedesaan.

Setelah mengimplementasikan budaya klenik Jawa-yang tampil menggugah. Perempuan Tanah Jahanam tersandung sebuah cela terkait pemaparan jawaban misteri. Joko menyisihkan dua titik alur untuk menjabarkan sebuah jawaban secara gamblang. Mengingat ini bukanlah sebuah kebiasaan Joko, saya rasa ini bukti kompromi Joko guna merangkul para penonton awam supaya dapat terjabarkan.

Masalah paling fatal bukanlah sebuah "penjabaran gamblang", melainkan proses berkepanjangan dalam menyuapi informasi. Alhasil penonton tak dapat menarik taji dengan sendirinya, itu terjadi lewat sebuah momen flashback yang seketika menarik "jawaban tersembunyi" tanpa membawa penonton untuk menggali.

Alur kedua yang berfungsi menutup guliran cerita (baca: konklusi) berfungsi memaparkan sebuah tragedi yang sebenarnya. Klimaksnya sendiri kurang daya bunuh pula darah yang tumpah. Saya mungkin mengharapkan hal demikian kala raga sudah dipersiapkan secara utuh. Joko kemudian melemparkan sebuah momen final dengan mengumpulkan para peran, di mana emosi menguar. Momen ini seketika menaikkan intensitas filmnya, terlebih paparan terkait keluarga disfungsional yang berkecamuk dengan lingkaran kutukan dipermainkan. 


Christine Hakim mengambil adegan, tatapan ngeri pula perasaan tersakiti menampilkan sebuah keberhasilan tersendiri. Joko kembali menampilkan sebuah disturbing moment berbungkus timing sempurna. Ditemani tata suara pula jeritan manusia, Perempuan Tanah Jahanam kembali mematenkan keinginan, seketika menghapus kesalahan dengan membayar sebuah kejutan yang membuat saya berujuar "Ini memang sebuah tontonan jahanam!".


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar