Di sadur dari novel buatan Stephen King bersama sang anak, Joe Hill, In the Tall Grass mempunyai dasar menarik mengenai rumput tinggi-yang menyimpan sebuah misteri. Disutradari oleh Vicenzo Natali (Splice, Haunter)-yang turut merangkap sebagai penulis naskah filmnya. In the Tall Grass gagal tersaji sebagaimana mestinya, kala guliran durasi hanya berisikan sebuah repetisi nihil esensi.
Ketika hendak menuju ke San Diego, Becky (Laysla De Oliveira) yang tengah hamil 6 bulan mengalami mual, ia kemudian meminta sang kakak, Cal (Avery Whitted) untuk menepi ke pinggir jalan dekat sebuah rawa berisikan rumput yang panjang dan tinggi menjulang. Becky dan Cal kemudian mendengar suara seorang anak meminta tolong, alih-alih mencari sumber suara yang jelas, mereka kemudian masuk begitu saja-tanpa sadar sebuah bahaya datang mengancam.
Benar saja, Becky dan Cal terpisah satu sama lain, aura keanehan menguar kala Becky mulai menemukan bangkai seekor anjing. Cal kemudian bertemu dengan Tobin (Will Buie Jr.) anak-yang meminta tolong tadi dengan membawa seekor gagak mati. Sementara Becky bertemu dengan Ross (Patrick Wilson), ayah Tobin yang mencari keluarganya. Dari sinilah serangkaian teror di mulai.
In the Tall Grass pada awalnya mampu menyulut atensi kala Natali mengajak penonton untuk bertanya-tanya terhadap sebuah misteri, tensi pun ia naikkan dengan mempermainkan rumput-yang penuh akan kesan menyeramkan, termasuk kala angin meniup secara perlahan. Terlihat dengan jelas visi yang ditekankan Natali kala bermain dengan tensi, tambahkan jasa Craig Wrobleski dalam mengindahkan adegan.
Menuju paruh kedua-yang menandai dimasukannya karakter Travis (Harrison Gilbertson), kekasih Becky yang bertanggung jawab atas kehamilannya, cerita mulai kental akan sebuah repetisi. Belum lagi, dialog dangkal menghiasi (karakter menyebut nama karakter lain-ulangi). Dari sini, Natali mulai kebingunan membangun penceritaan, meski di saat bersamaan secercah kesenangan dapat di dapat, kala Natali mulai banting setir membawa filmnya ke ranah thriller.
Unsur thriller-nya sendiri mungkin terlalu jinak (jika tak ingin disebut kurang daya bunuh). Namun, mampu terselamatkan berkat kehadiran Patrick Wilson yang memperkuat adegan. Penggunaan unsur time loop-nya gagal tersaji akibat kurangnya Natali membenahi adegan. Hingga kala menuju konklusi, semuanya tak benar-benar terasa mengikat atau terjelaskan.
In the Tall Grass mungkin berujung mengecewakan. Tetapi saya masih bisa mengapreasi kala dalam sebuah adegan, Natali bermain-main dengan delusi pula makhluk berwujud rumput dengan nuansa gelap sebagai pelengkap, menyentuh sebuah ranah gore-yang cukup membuat ngilu di tengah musik seram garapan Mark Korven berkumandang. Andai In the Tall Grass mempertahankan elemen itu, niscaya filmnya tak akan berakhir se-ambigu ini, membuat sebuah pesan penting terkait penebusan dosa-berujung gagal tersampaikan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar