Kalau bukan karena akurasi lagu-yang berpacu padu dengan pengadeganan, saya mungkin akan menyangkan Notebook selaku remake resmi The Teacher's Diary (perwakilan Thailand di ajang Oscar 2015) perihal tuturannya-yang melakukan modifikasi ektrimis. Memang tak bisa disangkal, penyesuaian kultur pula cerita harus dikedepankan, tapi untuk Notebook sendiri semuanya berujung problema-akibat penuturan nihil elaborasi lebih, sebatas tempelan tanpa adanya sumbangsih terhadap penceritaan.
Kabir (Zaheer Iqbal) mantan perwira Angkatan Darat turun tangan guna melanjutkan pengajaran terhadap sekolah apung-yang dibangun oleh mendiang sang ayah. Sekolah-yang bernama Wular Public School terletak di Kashmir-yang kini dikelola oleh pemerintah meski mempunyai murid-yang sedikit.
Tentu, keinginan Kabir untuk mengajar didasarkan pada rasa bersalahnya-yang menurutnya mencoreng sisi kemanusiaan. Tentu, hal tersebut dapat dipahami mengingat hal demikian lumrah terjadi-yang kemudian dapat mengurangi atau bahkan menebus kesalahan tersebut. Sayang, naskah hasil tulisan Sharib Hashmi urung menampilkan sebuah elaborasi lebih, itulah mengapa sutradara Nitin Kakkar (Filmistaan, Mittron) kekurangan amunisi dalam hal eksekusi.
Meskipun nihil pengalaman, Kabir tetap gigih mengumpulkan murid-murid-yang tak mengetahui sekolah di buka kembali pasca guru mereka, Firdaus (Pranutan Bahl) memutuskan untuk pergi. Kabir-yang semula kerepotan terhadap apa-yang terjadi mulai menemukan semangat baru pasca ia menemukan buku catatan milik Firdaus. Benar, buku itu memotivasinya dan membuatnya jatuh cinta akan sosok sang penulis.
Elemen inilah-yang menarik di Teacher's Diary, kala seseorang jatuh cinta terhadap sosok-yang belum ia temukan. Tentu, Notebook mengkreasi momen tesebut dengan cukup baik, meski keputusan Nitin Kakkar terlampau cepat dalam membuat sang protagonis jatuh cinta, ini yang sedikit menjadi kendala kala penonton sendiri belum mencintai karakternya.
Jikalau anda belum menyaksikan film aslinya, tentu persoalan ini tak akan jadi masalah. Namun, Notebook terlampau menyepelekan momen-yang terjadi di film aslinya-yang justru berkontribusi terhadap pengembangan karakter utamanya. Sebutlah momen penemuan mayat di jamban, di film aslinya kita mendapati sang karakter mengangkat mayat tersebut. Berbeda dengan film ini-yang terlampau menyerahkannya kepada pihak berwajib. Padahal, pergulatan rasa takut karakter dapat terpantik kala dihadapkan dengan kepedulian-yang memaksanya melawan ketakutan.
Pun, sedari awal durasi, Notebook mengetengahkan cerita-yang lebih kelam daripada pendahulunya. Pemilihan lokasi Kashmir memang memfasilitasi, kala tempat tersebut di anggap mempunyai isu pelik, bahkan merupakan tempat sekumpulan teroris ektrimis. Ini tentu dapat dimanfaatkan guna menambal dan memantik penceritaan. Namun-yang saya harapkan tentu tak kunjung kenyataan.
Beragam isu turut disentil dalam Notebook, sebutlah pikiran kolot penyelenggara-yang terlampau mengekang, di mana Firdaus kerap dipermasalahkan akan tato bintang di tangan maupun cara pengajaran inkonvensional-yang diterapkan. Belum lagi, tuntutan sang kekasih (Mozim Bhat)-yang kerap mencampuri urusan mengajarnya. Tentu, simpati akan kemerdekaan Firdaus dibutuhkan-meski sejatinya sang sutradara kurang memaksimalkan emosi terhadapnya.
Demikian pula dengan tokoh Kabir-yang memiliki masalah cukup kelam-yang hanya dituturkan lewat flashback demi flashback, hingga kala ia berhadapan dengan momen komedik seperti hadirnya seekor ular di dalam kelas, momen tersebut tersaji secara lemah, mengingat Kabir adalah mantan anggota militer, impresi akan ketakutan tersebut turut dipertanyakan.
Tak ada pengajaran unik-yang diterapkan film pendahulunya tentu tak menjadi masalah. Namun, berbicara mengenai unsur pendidikan-yang diterapkan filmnya berujung tersaji secara prematur. Acapkali tuturan tersebut terbentur dengan latar kehidupan sang tokoh-yang gagal terpantik akibat kurangnya penempatan pula keterburuan pengadeganan, hingga kala konklusi di tampilkan, Notebook di rasa kurang menyelesaikan tugas utamanya.
Menjelang konklusi, kita diperkenalkan dengan Imran (Mir Mehrooz), salah satu murid terpintar di kelas-yang terbentur cara pikir kolot sang ayah-yang melarangnya untuk bersekolah. Momen ini tentu sempat disinggung-dan kemudian diselesaikan menjelang konklusi. Tentu hal tersebut mengeliminasi unsur pendidikan-yang diterapkan guna mengakhiri durasi.
Saya sadar, terlampau membandingkan Notebook dengan film aslinya, padahal sebuah film remake tentu dapat berdiri sendiri. Namun, sebuah remake juga perlu mewarisi semangat film pendahulunya-yang justru gagal terulang di film ini. Termasuk rasa kala pertemuan kedua protagonis utamanya yang kurang terpantik.
Notebook memang problematik. Tetapi pemandangan lanskap Kashmir-yang cantik dan tentunya penggunaan soundtrack-yang kerap mengiringi filmnya membuat saya tetap tertarik akan guliran pengisahannya. Setidaknya hal tersebut sedikit mengobati kekecewaan kala kebahagiaan gagal sepenuhnya tersampaikan.
SCORE : 3/5
0 Komentar