Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

MATIANAK (2019)

Setidaknya, MatiAnak-yang menandai debut penyutradaraan seorang Derby Romero mampu tampil unggul berkat satu aspek-yang meski tak sepenuhnya tampil konsisten-mampu memberikan dampak yang cukup signifikan, yakni ketepatan timing. Itu yang membuat MatiAnak mempunyai rasa-yang lebih-di samping formula cerita-yang mengandalkan sepenuhnya terhadap kemunculan twist-sebagai penutupnya.



Berlatar tahun 1990-an dengan panti asuhan-yang dikelola oleh Pak Rosman (Yayu Unru) sebagai panggung utama-yang kerap bertindak keras terhadap anak panti. Beruntung, mereka memiliki Ina (Cinta Laura Kiehl), si pengurus berhati lembut. Itu berlaku terhadap seluruh anak panti, tak terkecuali Andi (Jovarel Callum) si anak baru-yang semula ditolak kehadirannya oleh Pak Rosman dengan alasan dapat menambah beban ekonomi.


Andi begitu pendiam dan acapkali dipandang aneh oleh para anak yang lain. Tentu, ada intensi lebih terhadap sikapnya-yang gagal dimanfaatkan akibat penonton terlebih dahulu melihat pembantaian-yang Andi lakukan di pembuka durasi-di tengah pemanfaatannya terkait konklusi.


Naskah garapan William Chandra (3 Sum) beserta Wendy Chandra memanglah formulaik-kala terornya sendiri hanya berisikan sebatas jumpscare berupa kehadiran sang makhluk-sebelum kemudian diakhiri dengan gelaran scoring menggelegar-yang memberikan sebuah tease berupa kemunculan sang makhluk. Pun, seperti kebanyakan formula horor serupa, William menjadikan malam hari sebagai tempat dilangsungkannya parade teror, sementara siang hari ia jadikan sebagai tempat memperlambat tempo-demi menggulirkan penceritaan. Ini terasa sangat kentara, hingga kadangkala menimbulkan sebuah momen-yang melelahkan.


Beruntung, MatiAnak memiliki cast-yang mampu menghidupkan cerita. Cinta Laura bermain solid-sementara jajaran para pelakon cilik-yang digawangi oleh Fatih Unru dan Basmalah Gralind tampil melengkapi. Meski di saat bersamaan, saya kerap menanyakan kepentingan tokoh Jaka (Irsyadillah)-yang hanya sebatas datang dan pergi, memberikan sedikit bumbu percintaan-yang tak bermasalah jikalau dihilangkan.


Walaupun demikian, saya amat menyukai salah satu elemen-yang naskahnya terapkan. Itu terjadi kala Ina tengah mengikuti ceceran darah-yang membanjiri lantai. Ina dengan keberanian berselimut ketakutan dan kecurigaan perlahan melihat kejadian, sementara di loteng atas, para anak panti meneriaki nama Ina, tanda sebuah kepedulian akibat nasib serta keadaan sama-yang kian merekatkan. Pun, ini berlaku pada sebuah momen di meja makan, ditemani cahaya lilin, Ina beserta para anak panti saling menyantap makanan, meski seadanya-tapi memiliki sebuah rasa-sarat kehangatan kekeluargaan.


Keputusan MatiAnak membawa unsur gore-memag patut diapresiasi-meski disaat bersamaan pula ingin rasanya saya mencaci. Sejak awal, Derby memang kentara menyiratkan sebuah sadisme berupa banjir darah, memberikan kematian-yang mengerikan bagi karakternya (termasuk para anak panti)-yang kemudian berujung pada sebuah kecanggungan. Terlebih, mayoritas kematiannya ditampilkan off-screen. Entah ini demi menghindari gunting sensor atau apa-yang kemudian berdampak pada konklusi filmnya.


Ya, konklusi filmnya-yang digunakan sebagai momen puncak-gagal memberikan penebusan setimpal-akibat minimnya gore-yang dimainkan. Hanya sebatas menampilkan-tanpa ada keinginan lebih untuk memanfaatkan. Terlebih paparan twist-nya tampil kacau karena penonton terlebih dahulu mengetahui sesuatu-yang tak beres-yang kemudian hanya memperumit kepada sebuah keadaan berbelit. Paruh akhir MatiAnak memang bermasalah, bahkan nyaris menutup keunggulan-yang dimiliki filmnya.


SCORE: 3/5

Posting Komentar

0 Komentar