Setidaknya, MatiAnak-yang
menandai debut penyutradaraan seorang Derby Romero mampu tampil unggul berkat
satu aspek-yang meski tak sepenuhnya tampil konsisten-mampu memberikan dampak
yang cukup signifikan, yakni ketepatan timing. Itu yang membuat MatiAnak mempunyai
rasa-yang lebih-di samping formula cerita-yang mengandalkan sepenuhnya terhadap
kemunculan twist-sebagai penutupnya.
Berlatar tahun 1990-an
dengan panti asuhan-yang dikelola oleh Pak Rosman (Yayu Unru) sebagai panggung
utama-yang kerap bertindak keras terhadap anak panti. Beruntung, mereka
memiliki Ina (Cinta Laura Kiehl), si pengurus berhati lembut. Itu berlaku
terhadap seluruh anak panti, tak terkecuali Andi (Jovarel Callum) si anak
baru-yang semula ditolak kehadirannya oleh Pak Rosman dengan alasan dapat
menambah beban ekonomi.
Andi begitu pendiam dan
acapkali dipandang aneh oleh para anak yang lain. Tentu, ada intensi lebih
terhadap sikapnya-yang gagal dimanfaatkan akibat penonton terlebih dahulu
melihat pembantaian-yang Andi lakukan di pembuka durasi-di tengah
pemanfaatannya terkait konklusi.
Naskah garapan William
Chandra (3 Sum) beserta Wendy Chandra memanglah formulaik-kala terornya sendiri
hanya berisikan sebatas jumpscare berupa kehadiran sang makhluk-sebelum
kemudian diakhiri dengan gelaran scoring menggelegar-yang memberikan sebuah
tease berupa kemunculan sang makhluk. Pun, seperti kebanyakan formula horor
serupa, William menjadikan malam hari sebagai tempat dilangsungkannya parade
teror, sementara siang hari ia jadikan sebagai tempat memperlambat tempo-demi
menggulirkan penceritaan. Ini terasa sangat kentara, hingga kadangkala
menimbulkan sebuah momen-yang melelahkan.
Beruntung, MatiAnak
memiliki cast-yang mampu menghidupkan cerita. Cinta Laura bermain
solid-sementara jajaran para pelakon cilik-yang digawangi oleh Fatih Unru dan
Basmalah Gralind tampil melengkapi. Meski di saat bersamaan, saya kerap
menanyakan kepentingan tokoh Jaka (Irsyadillah)-yang hanya sebatas datang dan
pergi, memberikan sedikit bumbu percintaan-yang tak bermasalah jikalau
dihilangkan.
Walaupun demikian, saya
amat menyukai salah satu elemen-yang naskahnya terapkan. Itu terjadi kala Ina
tengah mengikuti ceceran darah-yang membanjiri lantai. Ina dengan keberanian
berselimut ketakutan dan kecurigaan perlahan melihat kejadian, sementara di
loteng atas, para anak panti meneriaki nama Ina, tanda sebuah kepedulian akibat
nasib serta keadaan sama-yang kian merekatkan. Pun, ini berlaku pada sebuah
momen di meja makan, ditemani cahaya lilin, Ina beserta para anak panti saling menyantap
makanan, meski seadanya-tapi memiliki sebuah rasa-sarat kehangatan
kekeluargaan.
Keputusan MatiAnak membawa
unsur gore-memag patut diapresiasi-meski disaat bersamaan pula ingin rasanya
saya mencaci. Sejak awal, Derby memang kentara menyiratkan sebuah sadisme
berupa banjir darah, memberikan kematian-yang mengerikan bagi karakternya
(termasuk para anak panti)-yang kemudian berujung pada sebuah kecanggungan.
Terlebih, mayoritas kematiannya ditampilkan off-screen. Entah ini demi
menghindari gunting sensor atau apa-yang kemudian berdampak pada konklusi
filmnya.
Ya, konklusi filmnya-yang
digunakan sebagai momen puncak-gagal memberikan penebusan setimpal-akibat
minimnya gore-yang dimainkan. Hanya sebatas menampilkan-tanpa ada keinginan
lebih untuk memanfaatkan. Terlebih paparan twist-nya tampil kacau karena
penonton terlebih dahulu mengetahui sesuatu-yang tak beres-yang kemudian hanya
memperumit kepada sebuah keadaan berbelit. Paruh akhir MatiAnak memang
bermasalah, bahkan nyaris menutup keunggulan-yang dimiliki filmnya.
SCORE: 3/5
0 Komentar