Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

DANUR 3: SUNYARURI (2019)

Harus diakui, saya begitu menyimpan harapan penuh terhadap seri Danur-yang meski bukan sebuah tontonan dengan kualitas tinggi, penyutradaraan Awi Suryadi selalu menampilkan sebuah peningkatan, meskipun hanya berjalan setapak demi setapak sekalipun. Itu terbukti di dua seri sebelumnya Danur: I Can See Ghosts (2017) dan Danur 2: Maddah (2018). Sunyaruri-yang diniati sebagai penutup trilogi Danur kini rilis, masih digawangi sutradara, pemain serta penulis-yang sama pula. Dari sini, timbul sebuah pertanyaan mengenai kualitas-yang sayangnya masih tampil sama.



Sunyaruri berarti alam kesepian. Itu yang dirasakan Risa (Prilly Latuconsina)-kala ia berkeinginan untuk hidup normal seperti teman sebayanya. Apalagi, kini ia telah memiliki seorang kekasih-yang seorang penyiar radio, Dimas (Rizky Nazar) namanya. Risa menutupi kemampuannya-yang bisa melihat "mereka" dari Dimas. "Aku gak ingin kehilangan Dimas, dia beda!" begitu ujar Risa kepada sang adik, Riri (Sandrinna Michelle Skornicki) ketika diminta jujur terhadap kemampuannya kepada sang kekasih.


Keinginan untuk hidup normal kemudian ia tekadkan kala Peter, William, Janshen, Hans dan Hendrick mulai mengganggu Dimas. Risa begitu marah dan memutuskan untuk menutup gerbang dialog-yang selama ini sering ia lakukan. Lewat perantara seorang perempuan bernama Kartika (Hayati Azis)-yang tiba-tiba mendatanginya kala tengah menulis di hutan, Risa akhirnya tak bisa lagi melihat mereka. Namun, bukannya sebuah kehidupan normal-yang ia harapkan muncul, melainkan bau danur-yang masih ia cium, disertai dengan teror tak berkesudah pula hujan-yang tak henti mengguyur rumahnya, kini Risa berada dalam bahaya-dan harus menyelesaikan semuanya tanpa bantuan teman hantunya. 


Sunyaruri menampilkan apa yang tak ditampilkan di dua seri Danur sebelumnya, yakni hubungan Risa bersama teman hantunya-yang kini tak hanya tampil sebatas tempelan. Meski tak signifikan, setidaknya Lele Laila, si penulis naskah mampu memberikan sedikit gambaran kedekatan Risa-yang kini mulai goyah. Itulah yang menjadi pembeda Sunyaruri dengan dua seri sebelumnya, selebihnya adalah sebuah pengulangan-yang tampil menggunakan formula sama.


Jumpscare tentu ditekankan, apresiasi tentu patut dilayangkan kepada Awi Suryadi-yang tak menampilkannya dalam kadar berlebih, tengok adegan pembukanya-yang turut menampilkan Canting, hantu penari di ending Maddah-yang diperankan oleh Dea Panendra. Meski tak ada kaitannya dengan cerita, pembukanya justru menjadi aspek terbaik filmnya, kala Awi menjadikan bayangan terlihat begitu menyeramkan dari biasanya, ditunjang dengan aspek teknis mumpuni pula scoring gubahan Ricky Lionardi (dwilogi Danur, Pretty Boys)-yang kini tak menyakiti telinga, namun mengundang bulu roma.


Saya berani menyebut Sunyaruri sebagai cerita terbaik dari dwilogi Danur, bukan karena aspek teknis pula penggunaan budget-yang terlihat mewah, melainkan cakupan cerita-yang membenturkan rasa. Itu akan terlaksana begitu sempurna andai dibarengi dengan eksekusi mumpuni. Sayangnya, harapan-yang saya inginkan tak kunjung datang, kala sang penulis naskah pula sutradara seolah alergi dengan sebuah kata "elaborasi".


Itu penyakit lama-yang menjangkiti Sunyaruri. Kala durasi hanya diisi hamparan adegan kental repetisi. Saya tak menyebut cakupan lokasi Sunyaruri yang minim (teror hanya berlangsung di rumah) sebagai akibat, melainkan keenganan sang sutradara untuk mengakali bagaimana teror tersebut tak berlangsung monoton. Awi memang tak sebodoh itu, tersimpan adegan-yang tampil solid, sebutlah sebuah jumpscare-yang melibatkan baskom di dalamnya.


Sebgai pelakon utama, Prilly Latuconsina justru dibebani tugas-yang cukup berat-yang kemudian menampilkan jangkauan cukup luas dari aktingnya. Kala sang aktris dituntut tak hanya sekedar setor ekspresi ketakutan maupun bermain rasa, fisiknya pun dikuras habis-habisan demi menciptakan sebuah teror mengerikan.


Berbicara mengenai teror, Sunyaruri memanglah tampil medioker. Walaupun demikian, saya kerap menanyakan motivasi sang hantu terkait modus operandinya yang tak tampil jelas. Pertanyaan seperti mengapa ia kerap mengganggu Peter Cs dan gemar melantunkan lagu Boneka Abdi tak terendus alasannya. Apalagi, bermodal riasan muka rusak, Sunyaruri jelas sebuah penurunan jika dibandingkan dengan sosok Asih dan Ivanna-yang cukup ikonik itu.


Hingga tiba kala konklusi diungkap, Sunyaruri menyalahi aturan main kala menerapkan sebuah twist-yang tampil terburu-buru tanpa adanya penanaman benih terlebih dahulu. Twist-nya tampil konyol, hanya sebatas mengungkap jati karakter-yang dimainkan oleh Syifa Hadju. Pun mengenai penebusannya sendiri, Sunyaruri tampil begitu menggampangkan mengakhiri permainan. Sangat disayangkan memang. Itulah mengapa rasa sulit terpantik kala sebuah kemenangan maupun perpisahan ditampilkan.


SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar