Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

CLIMAX (2018)

Disutradarai oleh Gaspar Noé (Stand Alone, Irréversible, Enter the Void, Love), Climax kembali menaburkan ciri khas sang sutradara dalam mengolah sebuah film-yang sarat akan unsur seksual, kekerasan, narkoba dan keberanian. Berlatar pada pertengahan tahun 1990-an, di mana Prancis kala itu tengah di landa musim salju. Di sebuah asrama sekolah-yang berada di jantung hutan, para penari kota Prancis tengah berkumpul, berlatih menari sembari mengadakan pesta terakhir.


Pesta terakhir-yang telah dipersiapakan Emmanuelle (Claude Gajan Maull) dengan semangkok sangria besar menemani malam panjang-yang penuh dengan kehebohan itu. Hingga para penari yang melibatkan Selva (Sofia Boutella) di dalamnya-sesekali menengguk sangria mulai mengalami kebingungan ketika narkoba jenis LSD rupanya turut tercampur dalam mangkuk sangria tersebut. 


Naskah yang ditulis oleh Noé sejatinya sangatlah tipis-namun menghasilkan sebuah impak-yang tak setipis naskahnya. Menarik kala Noé bermain dengan delusi karakter-yang terdiri dari 24 penari, masing-masing menggila dengan cara unik bahkan ekstrim sekalipun. Dalam penanganannya, Noé memberikan sebuah pengalaman yang indah dan mimpi buruk sekalipun.


Indah-karena Climax mampu memberikan sebuah pengalaman sinematik-yang luar biasa. Kala iringan musik hip-hop berpadu dengan tarian abstrak para karkternya-yang dengan mungkin tak pernah dijamah oleh para sineas sebelumnya. Tata kamera hasil bidikan sinematografer langganan Noé, Benoît Debie turut berkontribusi menghasilkan tata gambar-yang memanjakan mata lewat teknik long shoot, shaky cam, maupun static cam-miliknya.


Climax mungkin tak memperkuat karakterisasi, meski beragam emosi mampu ditampilkan dengan penuh arti-kala sebuah halusinasi turut dipatenkan. Kapan lagi kita melihat para karakter dalam seisi film tampil begitu menggila-dengan menanggalkan urat malu, nuansa chaos tercipta, namun Climax memberikan sebuah sensasi-yang tak terduga.


Selama 96 menit durasi bergulir, Climax-yang semula berkutat pada sajian musikal, banting setir menutup konklusi ke ranah horror. Seiring pula sang pelaku akan diungkap, nuansa psikadelik-yang diterapkan semakin menjadi. Ini-yang saya suka dari Climax, kala twist-nya tanpa disadari begitu berisi-dengan adanya sebuah konspirasi-yang tak pernah saya sadari ditanam Noé begitu rapi.


Climax memiliki momen pembuka-yang menampilkan para penari diwawancari oleh seorang reporter televisi, mereka membicarakan hal abstrak berupa makna dari tari, seks, narkoba, hingga kepercayaan terhadap Tuhan. Masing-masing dari mereka mengutarakan pendapatnya dengan berbeda di tengah latar belakang-yang berbeda pula (mereka terdari dari seorang pecandu, lesbi, gay hingga perempuan-yang hamil diluar nikah). Ini tentu dijadikan Noé sebagai sebuah clue-bagi sebuah konklusi-yang akan membentuk Climax setelahnya.


Climax kental akan unsur abstraksi-yang mungkin akan sulit dimengerti oleh sebagian penonton. Dialognya pun tak terkendali dalam membicarakan hal-yang berpotensi menelanjangi moralitas-yang meniadakan sebuah batas. Dengan tone merah menyala-yang senantiasa mengiringi filmnya, Climax mungkin sebuah sajian paling jinak dari sang sutradara penghasil komentar suara para penontonnya, meski saya sendiri tak menampik bahwa ini adalah salah satu buah pemikiran hebat pembuatnya.


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar