Isle of Dogs dibuat atas dasar kecintaan sang sutradara, Wes Anderson (The Grand Budapest Hotel, Fantastic Mr.Fox) terhadap anjing dan kultur Jepang, tak ayal jika sebuah karya dibuat atas dasar cinta-maka akan menghasilkan sebuah mahakarya-yang luar biasa. Menceritakan Jepang di masa mendatang, di mana ia dipimpin oleh seorang walikota bernama Mayor Kobayashi (Kunichi Nomura)-yang memimpin kota Megasaki. Megasaki tengah dilanda sebuah virus berbahaya-yang penularannya ditularkan oleh anjing peliharaan. Untuk itu, Mayor Kobayashi memutuskan untuk mengasingkan seluruh anjing peliharaan ke sebuah tempat bernama Trash Island.
Anjing yang pertama kali diasingkan bernama Spots (Liev Schreiber) dalam sebuah kurung tertutup. Atari Kobayashi (Koyu Rankin)-yang merupakan anak asuh sang walikota adalah sang tuan dari Spots. Tak menerima Spots diasingkan, Atari lantas pergi menggunakan pesawat curiannya, mengalami kecelakaan dan bertemu dengan 5 ekor anjing yang hendak menuntunnya menemukan Spots. Mereka adalah Chief (Bryan Cranston), Rex (Edward Norton), King (Bob Balaban), Boss (Bill Murray), dan Duke (Jeff Goldblum). Dimulailah petualangan pencarian Spots-yang kemudian memaksa mereka menyelamatkan para anjing dari rencana jahat sang walikota.
Naskah yang digarap Wes Anderson atas ide cerita dari 4 orang (termasuk dirinya) sangatlah sederhana-yang kemudian akan membawa Isle of Dogs pada sebuah pembukaan kedok rencana jahat yang dilakukan demi kepentingan partisipan. Namun, sekali lagi, Anderson menggarapnya dengan penuh cinta, sembari menuturkan pesan terkait kesetaraan dalam balutan pemberontakan yang halus pula kasar sekalipun.
Pemberontakan halus diwakili oleh Atari, sementara pemberontakan kasar diwakili oleh Tracy Walker (Greta Gerwig) si mahasiswi pertukaran asal Amerika-yang rela berdiri tegak demi membela hak terhadap anjing, di samping Nutmeg (Scarlett Johansson), si anjing peliharaan ikut terasingkan di Trash Island.
Isle of Dogs memiliki sinematografi cantik buatan Tristan Oliver, membalut animasi stop-motion kian hidup. Pun, Isle of Dogs bukanlah karya pertama Anderson dalam membuat animasi stop-motion, berkat pengalaman yang ia pelajari di Fantastic Mr.Fox (2009) semuanya tersaji begitu indah, meski setting cerita berpusat penuh di tempat pembuangan sampah.
Anderson memasukkan dua bahasa, yakni Jepang dan Inggris. Keputusan tersebut jelas disengaja-meski terkadang pemilihan tersebut kerap tumpang tindih, kala penonton harus membaca ulang maksud dari lontaran bahasa berbeda (khususnya bahasa Jepang-yang hanya diterapkan pada tokoh manusia).
Konklusinya sendiri menemui hambatan berupa aspek sederhana-yang diterapkan. Tak berbanding lurus dengan cerita sederhana-yang mampu menghidupkan nyawa cerita, konklusinya terlampau disederhankan. Kala semua beres begitu saja lewat satu tindakan pasti. Ini memang tak menjadikan masalah yang besar, melainkan menurunkan intensitas di paruh kedua filmnya.
Di samping cerita yang terbagi atas empat babak, Isle of Dogs beruntung memiliki Alexandre Desplat (Valerian and the City of Thousand Planets, Unbroken, Fantastic Mr.Fox)-yang senantiasa memberikan nyawa terhadap filmnya lewat lantunan melodi pula lagu pengiring-yang selaras dengan cerita. Begitu indah sampai saya terpana dibuatnya.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar