"Andai tak di dasari sebuah kebodohan, The Pool adalah sebuah tontonan yang menegangkan". Demikian pendapat saya pasca menonton film yang mengambil setting one place show ini. Kita terlebih dahulu menyaksikan Open Water (2003), 127 Hours (2010), Buried (2010) hingga yang terbaru The Shallows (2016) yang premisnya serupa dengan The Pool. Film tersebut berhasil menggaet atensi pula simpati berkat "sesuatu yang tak terduga" miliknya, namun tidak dengan film ini yang sedari awal sudah dijelaskan, semula bermula dari tingkah bodoh karakternya yang sengaja menggiring masuk ke dalam kubangan marabahaya.
Protagonis utamanya bernama Day (Theeradej Wongpuapan) anggota tim artistik dalam sebuah iklan yang mengambil gambar di kolam renang. Pasca kegiatan usai, Day bermalas-malasan dengan tidur di atas sebuah pelampung di tengah kolam sedalam enam meter itu. Meski telah mendengar sebuah peringatan dari sang teman pula lolongan sang anjing yang telah mengisyaratkan Day hiraukan. Ini adalah sebuah kebodohan utama penggiring marabahaya-yang sulit rasanya untuk bersimpati terhadap apa yang terjadi selanjutnya.
Beberapa saat berselang, kolam mulai surut-membuat Day kesulitan untuk memanjat keluar. Alhasil, Day yang ditemani sang anjing yan terantai diatas harus berjuang keras demi bisa bebas keluar. Rupanya, tak cukup untuk "berjuang keras", logika pun harus dipakai, setidaknya itu adalah saran pribadi saya. Hingga muncullah sebuah pertanyaan "Bukankah dalam kondisi yang penuh dengan kepanikan sulit bagi seseorang untuk berpikir jernih? Ya itu benar. Tapi kembali lagi ke awal, semua itu bermula dari kebodohan awal yang telah dirimu hiraukan.
Day yang terjebak beralaskan lantai kering pula beratapkan terik matahari mulai terkulai lemas, belum lagai ketiadaan makanan (kecuali sepotong pizza) pula kurangnya suntikkan insulin memang sudah lebih dari cukup untuk membuat sang protagonis menderita. Tambahkan, tingkah Koi (Ratnamon
Ratchiratham), sang kekasih Day yang tiba-tiba meloncat dari atas di tengah jelasnya pandangan bahwa kolam telah mengering. Ini adalah bentuk kebodohan sendiri yang menyulut marabahya. Seolah belum pah lagi, mereka terjebak bersama seekor buaya ganas yang siap memangsa kapan saja.
The Pool garapan sutradara/penulis naskah Ping Lumpraploeng (Khon hew hua, Dreamaholic) sejatinya berhasil memberikan sebuah ketegangan kala sang protagonis menghadapi bahaya. Meski cenderung tak masuk logika, sebenarnya bisa tampil menghibur pula menegangkan andai disajikan dengan penuh ketelatenan. Lumpraploeng punya itu, termasuk dalam pengemasan durasi 91 menit yang terasa tepat.
Eksekusinya tersaji begitu padat berkat ketelatenan dalam menggarap. Hal yang paling krusial adalah penggunaan buaya-yang dalam film ini memadukan buaya asli pula visual CGI-yang sangat kentara kasarnya kala disorot secara dekat. Ini sejatinya bisa dimaafkan. Momen yang cukup menyakitkan juga ditampilkan dalam The Pool (kuku terkelupas, badan tersayat, kepala terbentur) dengan begitu meyakinkan. Pun pujian patut disematkan kepada Theeradej-Ratnamon yang berhasil menjalin sebuah chemistry yang tepat, terlebih Theeradej yang tampil meyakinkan berlakon dengan hewan buatan CGI.
Menjelang konklusi, Lumprapleong menggiring karakternya masuk pada sebuah marabahaya yang dua kali lipat, ditemani rintik hujan (yang memberikan kesan dramatis) justru menjadi puncak kebodohan yang sulit untuk diterima lagi. Ini terjadi kala Day dan Koi memutuskan untuk memperberat dan mempersulit siksaannya (clue: gorong-gorong).
The Pool terinspirasi ketika Ping Lumprapleong berusia 12 tahun yang mengibaratkan dasar kolam adalah sebuah titik terendah, butuh sebuah kegigihan pula kekuatan untuk keluar dari titik terendah itu. Ini adalah sebuah manifestasi yang cerdik jikalau dibarengai dengan usaha yang logis.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar