Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

ISABELLE (2018)

Saya tahu betul bagaimana menyikapi tontonan low-budget milik sutradara asal Kanada, Robert Heydon (Go Further, Irvine Welsh's Ecstasy) ini. Perlahan saya singkirkan ekspetasi tinggi, sebatas mencari sebuah hiburan khas b-movie yang menyenangkan, saya pula turut menghilangkan logika. Hasilnya? Isabelle adalah sebuah horor kelas b yang jauh dari kata seru, yang ada hanyalah sekuen menjemukan yang acap kali melelahkan.
 
 
Beruntung, naskah buatan Donald Martin (Milton's Secret, The Craiglist Killer) tampil apa adanya dengan naskah tipis miliknya, masih berkutat seputar pasangan suami istri, Larissa Kane (Amanda Crew) dan Matt Kane (Adam Brody) yang tengah menunggu kelahiran sang buah hati tercinta pasca kepindahannya ke sebuah rumah baru. Tentu, sudah barang pasti dalam sebuah film horor duka siap menjemput. Duka itu berupa kematian sang jabang bayi pasca sebuah pendarahan yang di alami Larissa di depan teras rumah-yang kala itu hendak menyapa sang tetangga, Ann Pelway (Sheila McCarthy). Peranagi Ann yang misterius ternyata menyimpan sebuah misteri yang tak terungkap, terlebih mengenai sosok Isabelle (Zoe Belkin), sang puteri yang mengurung diri dan sesekali mengintip di jendela kamar atasnya.
 
 
Saya sering mengatakan, dalam penerapan sebuah film horor, setidaknya simpan sebuah misteri rapat-rapat guna memberikan sebuah kejutan yang tak terduga, Isabelle memang terang-terangan membawa penonton lewat sosoknya yang tengah mengintip di jendela-yang ditampilkan oleh Belkin dengan penuh sensibilitas tinggi (jikalau tak terus-menerus ditampilkan). Heydon memanfaatkan hal demikian guna menggiring sang protagonis dalam sebuah kebingungan dan kepanikan pasca kehilangan.
 
 
Sempat menyentuh sebuah study character di paruh pertamanya, Isabelle nyatanya meninggalkan aspek demikian demi menampilkan sederet jumpscare yang sama sekali jauh dari kesan menyeramkan. Ini akibat dari seringnya Heydon menampilkan penampakan sang hantu secara berlebih tanpa memberi sensitivitas serta bobot lebih dalam kehadirannya-selain demi mengejutkan penonton-yang mana gagal ditampilkan film ini.
 
 
Naskah Donald Martin memang tergolong formulaik pula tipis. Dari sini sang penulis seharusnya menyadari-tanpa harus berlagak (sok) tinggi. Ceritanya melebar kemana-mana, mulai dari delusi hingga roh jahat yang menjangkiti. Oh ya, saya belum menyebut Larissa yang mengalami mati suri selama semenit. Alhasil, kehadiran pastor maupun psikolog nyaris tak ada artinya selain dari sebuah usaha malas memenhi durasi. Buat apa bertindak demikian jikalau tak ada sebuah korelasi yang benar-benar pasti?
 
 
Dari sini saya mulai menyerah dan pasrah. Terlebih kala menikmati separuh jam pertama yang diisi momen cringey dan drama medioker (Larissa diganggu, Matt menolak untuk percaya) yang menjengkelkan dan menjemukan. Hingga kala sebuah konklusi tampil mengakhiri filmnya dengan begitu mudah, dari sini timbulah sebuah pertanyaan, untuk apa tampil berbelit jikalau penyelesaiannya semalas ini? Bodohnya lagi saya bertanya dengan sebuah film yang sama sekali tak memiliki logika.
 
 
SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar