Five Feet Apart buatan sutradara debutan yang juga seorang aktor, Justin Baldoni adalah sebuah tearjearker dengan formula disease porn yang ampuh mengundang air mata jikalau tak dirusak oleh konklusi filmnya sendiri (lebih lengkapnya akan dibahas di bawah). Saya amat menyukai bagaimana tontonan ringan semacam Five Feet Apart ini menuturkan sebuah pesan terkait menjalani kehidupan dengan kepala tegak alih-alih penuh derita dan air mata, paruh pertamanya menampilkan hal demikian dengan begitu manis, hingga tiba kala naskah buatan Mikki Daughtry dan Tobias Iaconis (The Curse of La Llorona) mengkhianati pencapaian manis dengan sebuah penderitaan pahit yang tak masuk akal di ranah logika.
Stella Grant (Haley Lu Richardson) adalah seorang gadis penderita cystic fibrosis (disingkat CF, sebuah penyakit yang mempengaruhi kinerja paru-paru akibat produksi lendir berlebih) yang menjalani kesehariannya membuat sebuah vlog mengenai penyakitnya dengan penuh semangat bertemu dengan seorang pria dingin yang baru saja masuk ke rumah sakit tempat ia dirawat, Will Newman ( Cole Sprouse) yang baru saja terinfeksi CF dengan bakteri berbeda (b-cepacia). Tentu pertemuan keduanya menjadi titik awal dalam sebuah pembangunan romantika asmara pemantik senyum penonton.
Will adalah sosok pria yang memegang prinsip bahwa "kehidupan terlalu singkat jika dihabiskan dengan kekhawatiran", sementara Stella adalah sosok kebalikan dari Will. Tentu, karakterisasi tersebut terbilang generik-di mana kelak menjadi pemersatu mereka. Untungnya, berkat chemistry manis dari Haley Lu Richardson dan Cole Sprouse semuanya tersaji sedemikian manis pula romantis. Berulang kali saya dibuat betah dengan romantika mereka kala bersama, bertukar kalimat serta saling menguatkan satu sama lain di tengah hambatan/ larangan mereka untuk saling bersentuhan.
Sesama penderita CF memang dilarang untuk berdekatan, jarak minimun mereka adalah enam kaki (kekeliruan saya adalah terhadap judulnya yang menyebut jarak mereka hanya lima kaki). Ini seperti sebuah dinding besar pemisah mereka, lewat performa mereka yang menawan, memberikan sebuah kesan lain di tengah maraknya Long Distance Relationship (LDR) yang kerap dibicarakan. Satu hal yang pasti bahwa they are found love in a hopeless place-yang sekali lagi membuktikan sebuah keajaiban dari cinta.
Pun, relasi mereka sama asiknya pula dengan salah satu teman mereka-yang seorang gay, Poe Ramirez (Moises Arias) sesama penderita CF yang menjadi penghubung pula pendukung mereka di tengah kepanikan sang perawat, Barbara (Kimberly Hebert Gregory). Kematian Poe adalah titik balik bagi filmnya untuk banting setir ke ranah yang sulit diterima untuk akal sehat.
Ya, menjelang konklusi kita melihat dua protagonis kita menantang kematian dengan berjalan kaki selam 3 kilometer di tengah salju, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang tanpa memikirkan bahya besar yang berakibat fatal. Ya, saya mengerti ini sebuah bentuk "pemberontakan" akibat sebuah kehilangan-namun, fakta tersebut justru mengeliminasi rasa simpati kita terhadap karakter yang seolah mengkhianati keteguhan hati mereka yang sudah kita amini.
Ini tentu tak lain dan tak bukan demi mengiring sebuah isak tangis lain (yang sejatinya tak berhasil) berupa keharusan mereka saling bertaruh dan meregang nyawa atas nama cinta, sebuah kemalasan tersendiri dari para penulis yang tak memiliki sinkronasi terhadap keseluruhan ceritanya, konklusi ini seharusnya tak terjadi pada film ini.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar