Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

SATU SURO (2019)

Satu Suro merupakan proyek Anggy Umbara dalam pembuktiannya mampu menggarap sajian horor tanpa komedi khas-nya, tak ada kaitan resmi dengan Malam Satu Suro (1988) yang dibintangi mendiang Suzzanna-melainkan Satu Suro merupakan proyek yang hanya menggunakan elemennya saja, kala malam satu suro dianggap sebagian orang sebgai malam yang sakral, tempat di mana para makhluk halus berkumpul.
 
 
Adinda (Citra Kirana) dan Bayu (Nino Fernandez) adalah sepasang suami istri yang baru saja pindah ke daerah terpencil guna mencari ketenangan. Bayu tengah menjalankan proses guna menulis buku terbarunya, sedangkan Dinda tengah menanti bayi pertama mereka lahir ke dunia. Sial bagi mereka, kelahiran bayi pertama mereka justru bertepatan dengan malam satu suro, sebuah malam yang masyarakat sebut sebagai "lebarannya para setan".
 
 
Praktis, dari sini, naskah Satu Suro buatan Anggy Umbara (3, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!) bersama Syamsul Hadi (Pencarian Terakhir, Demi Cinta) hanya mengisi slot durasi demi durasi dengan sejumlah penampakan para makhluk halus-guna menutupi tipisnya penceritaan yang seolah tak mempunyai daya lebih.
 
 
Kita akan kebanyakan melihat para karakternya saling berteriak satu sama lain di tempat sama (rumah sakit/rumah), saling meneriakki satu sama lain kala perjalanan mereka untuk melarikan diri diri justru semakin sulit, setiap sudut diisi deretan hantu-yang pantas untuk diapresasiasi, terlebih kala Anggy memasukkan salah satu hantu (atau monster) yang mengingatkan saya pada sosok yang menyerang Alice di Resident Evil: Afterlife.
 
 
Berjalan selama 94 menit, Satu Suro berujung pada sebuah fase melelahkan kala adegan terus berjalan di tempat sama dengan repetisi serupa. Karkternya berusaha melarikan diri-menemukan hantu-berteriak-ulangi, demikian yang kerap Anggy terapakan, membuat Satu Suro begitu menjemukan di samping kurangnya rasa kengerian pada deretan hantunya-yang seolah jauh dari kesan menakutkan.
 
 
Ini adalah akibat kurang cakap pula piawainya Anggy dalam memainkan tensi, memberikan sentuhan rasa terhadap adegannya. Tengok adegan awal yang terlihat menjanjikan, ketika Sulastri (Alexandra Gottardo)-sang hantu utama filmnya mengamuk di rumah sakit, melakukan tindakan keji hingga berujung pada sebuah kematian. Kemudian, di tengah teror yang di alami Adinda, hantu Sulastri muncul, bukannya keseraman yang di dapat, melainkan kekesalan ketika Anggy menaikkan teriakan Sulastri yang berpotensi mengganggu gendang telinga.
 
 
Padahal, saya selalu suka ketika Anggy menyentuh titik gore, seperti dalam sebuah adegan kita melihat Adinda yang muntah darah disertai benda tajam keluar dari mulutnya. Pemandangan ini jelas menakutkan, sayang, Anggy tak memanfaatkannya dan memilih jalur konvensional yang diterapkan kebanyakan film horol lokal belakangan.
 
 
Ya, konklusinya begitu berantakkan. Anggy menutup durasi dengan memunculkan sebuah twist-yang dirajut paksa tanpa adanya keterkaitan yang pasti. Tak adanya sebuah korelasi dengan cerita awal membuat akhir yang dipilih Anggy tersaji hambar. Jelas, Anggy hanya ingin mengejutkan penonton tanpa pembangunan yang lebih, terlebih tak adanya kepedulian kita terhadap karakternya menjadikan filmnya nyaris tak memiliki atensi lebih. Walaupun demikian, serupa pencapaian yang telah ia lakukan di Asih, kita melihat Citra Kirana tampil meyakinkan di dalam situasi berantakkan, sementara Nino Fernandez bak kebingungan tengah melakukan apa.
 
 
Sempat menyelipkan unsur religi berupa proses penemuan seorang skeptis menemukan kembali imannya, Satu Suro justru keliru dalam menampilkan hal dengan sentuhan religi, mengalami peristiwa mistis bukan serta merta menjadikan seseorang religius, melainkan kala ia menyadari bukti adanya Tuhan lewat peristiwa yang terjadi. Semakin membingungkan kala perantara menemukan hal tersebut ialah melalui "metode dukun". What the fuck?


SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar