Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

RED SPARROW (2018)

Disadur dari sebuah novel trilogi berjudul sama buatan Jason Matthews-yang merupakan seorang mantan agen CIA-memberikan sebuah pengalaman yang realistis terkait dunia mata-mata yang alih-alih mengedepankan teknologi layaknya series James Bond, Red Sparrow menggunakan tubuh sebagai jualan utama memanipulasi lawannya guna mencari informasi. Jennifer Lawrence memerankan Dominika Egorova, seorang penari balet asal Rusia yang terpaksa menjadi seorang mata-mata selaku syarat yang diajukan pamannya, Ivan Dimitrevich Egorov (Matthias Schoenaerts)-jelas sempurna memerankan karakter tersebut dengan tunjangan tubuh yang sempurna pura paras cantik miliknya.
 
 
Dominika terpaksa melakukan hal tersebut demi memenuhi kebutuhan finansial pula memastikan agar pengobatan terhadap kaki sang ibu tetap terlaksana, Ivan adalah salah satu petinggi Dinas Intelijen Asing Rusia (SVR)-yang bersedia menjamin kebutuhan tersebut, Dominika lantas dikirmkan ke sebuah sekolah pelatihan yang kemudian ia sebut sebagai "Whore School" dibawah pimpinan kepala sekolah-yang diperankan oleh Charlotte Rampling dengan tatapan tajam pula tindakan kejam-yang lantas membuat nyalimu ciut seketika.
 
 
"Red Sparrow" adalah sebutan untuk mereka para agen-yang pintar dalam memanipulasi target lewat pikiran berdasarkan kebutuhan masing-masing individu. Lawrence denga aura seksi pula jiwa menggelora miliknya adalah salah satu dari mereka-yang menggunakan tubuhnya guna memanipulasi pikiran target. Dari sini, sutradara Francis Lawrence (trilogi The Hunger Games) menampilkan adegan sensual berani sarat kesadisan yang siap ditampilkan.
 
 
Naskah garapan Justin Haythe (The Clearing, A Cure for Wellness) memang jarang menampilkan sebuah aksi baku hantam (terhitung selama durasi 138 menit hanya tersaji 3 adegan aksi), ia gemar memainkan pikiran, membuat penonton menereka-nerka dengan apa yang hendak terjadi. Tunggu, ketika Dominika mulai menemukan targetnya, Nate Nash (Joel Edgerton)-yang disaat bersamaan tengah mencoba menginfiltrasi SVR. Dari sinilah timbul pertanyaan terkait Siapa sebenarnya mereka? Apakah tindak-tanduk yang akan mereka lakukan?-yang seketika menggelayuti pikiran.
 
 
Bagi sebagian penonton yang mengharapkan adegan aksi, Red Sparrow memang di rasa membosankan berkat ketiadaan aksi yang tampil masif, memang minimnya sajian tersebut sedikit menurunkan tensi di tengah durasi yang lumayan lama. Untungnya, Francis Lawrence menyuntikkan sebuah tensi tersendiri kala aktor utama kita tengah beraksi, romantika memang sempat mengisi-namun itu bukan jualan utama bagi filmnya melangkah, seketika Red Sparrow bangkit kembali lewat adegan tak terduga-yang kerap memainkan praduga-yang dirasa menyenangkan. Saya termasuk salah satu orang jenis kedua.
 
 
Keberanian Red Sparrow dalam menampilkan adegan jelas patut diapresiasi, entah itu berupa disi sensual-yang mengharuskan Lawrence beberapa kali menanggalkan pakaian hingga mencengkram kemaluan sang atasan. Adegan tersebut tak lantas tanpa arti, kita dapat memahami intensi Dominika yang terpaksa melakukan hal tersebut-yang kemudian diikuti sekuen berdarah-darah dengan tingkat kesadisan yang membuat ngilu (leher dijerat, kulit dikelupas).
 
 
Semakin jauh Red Sparrow menekan ranah sensualitas, semakin cantik pula gelaran gambar yang ditangkap oleh sinematografi Jo Willems-yang kerap memberikan sentuhan merah menyala yang menandakan sikap keberanian hingga Rusia. Ini mungkin sedikit mengeskalasi saya terhadap inkonsistensi aksen yang kerap karakternya lontarkan. Dibungkus oleh permainan cekatan pula tepat merangkum secara padat, Red Sparrow adalah tontonan yang saya nikmati di tengah beberapa ketidaklogisan ceritanya, setidaknya konklusinya memberikan sebuah daya kejut tersendiri di tengah mata dan pikiran saya yang terperdaya oleh Dominika.
 
 
SCORE : 3.5/5

Posting Komentar

0 Komentar