Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

TEMBANG LINGSIR (2019)

Melalui Kuntilanak (2006), Rizal Mantovani memberikan sentuhan tersendiri lewat lagu Lingsir Wengi yang dalam film itu (dan film horor lainnya) digunakan sebagai pertanda atau bahkan pemanggil arwah maupun hantu. Setidaknya, dalam Tembang Lingsir ia sudah belajar bahwa hal tersebut memang sebuah anggapan yang salah. Tapi, bukan berarti lewat Tembang Lingsir, Rizal memperbaiki kesalahan yang telah ia buat di film sebelumnya, lihat nama production house yang menaungi Tembang Lingsir yang sudah berarti jaminan keburukan sebuah film. Sayang seribu sayang, Tembang Lingsir pun turut tercoreng sebagai film berkualitas ala kadarnya.



Mala (Marsha Aruan), terpaksa harus tinggal bersama Om Gatot (Teuku Rifnu Wikana) dan Tante Gladys (Meisya Siregar) pasca sebuah insiden yang turut menghilangkan suaranya secara sementara. Insiden itu turut menewaskan sang ibu. "Dia Aneh!" begitu protes Desi (Aisyah Aqilah), puteri Gladys, yang merujuk pada kebiasaan Mala menyanyikan lagu Lingsir Wengi secara tiba-tiba. Tak butuh waktu lama untuk Mala beserta keluarga Om Gatot untuk mendapati sebuah teror mengerikan.


Sungguh sulit menemukan sebuah eksplorasi plot maupun misteri yang jelas dalam rumah produksi ini. Alhasil, naskah buatan Andhika Lazuardi pun jauh dari kesan "kokoh" maupun runut secara sistematis. Demi mengisi slot durasi, naskahnya bak sebuah kumpulan dari teror yang siap menemani para karakternya. Misalnya kala Mala usai di ganggu sosok sang hantu, hantu itu kemudian akan mendatangi Om Gatot, Tante Gladys, Desi, dan semua karakter di film ini.


Bukan sebuah repetisi sarat kemalasan lagi, Tembang Lingsir pun turut menanggalkan sebuah logika ketika menontonnya. Seperti kala Om Gatot dan Tante Gladys yang saling melayangkan dialog pertengkaran, mengapa mereka harus jauh-jauh pergi ke hutan? Bukannya di pekarangan rumah maupun kamar pun bisa? Pula mengenai setting modern yang dipakainya, karakter bisu mana yang masih menggunakan papan tulis hitam untuk berkomunikasi? Hingga puncaknya kala dua teman Desi yang nekat kabur ke hutan berjalan kaki. Bukankah sebelumnya mereka mengendarai mobil?


Bodoh memang jika saya mencari jawaban atas ketidaklogisan tersebut. Yang pasti sosok Kanjeng Ratu menanggalkan alasan bahwa Rizal Mantovani masih menyimpan ide cemerlang dan terkait penggambaran makhluk-yang di sisi lain bak sebuah lawan lain kala hantu yang selama ini mengganggu Mala beserta para karakternya begitu jauh dari kesan "unik" yang tadi saya sebutkan. Ini tak lebih dari sosok hantu berwujud muka rusak yang tampil menyebalkan.


Lagi dan lagi saya bosan dengan konklusi yang melahirkan sebuah twist mendadak di tengah teror mencekam yang begitu saja usai lewat sebuah lagu pendek yang dilantunkan Mala yang membuat semuanya berakhir menyelesaikan masalah. Untuk apa membangun cerita yang berkelok bahkan ribet jikalau pengakhirannya begitu cetek? Pun mengenai unsur slasher yang diterapkan, mengapa hanya berjalan begitu singkat? Andai saja tekanan gore-nya lebih diperpanjang, setidaknya Tembang Lingsir mampu sedikit membelakkan mata saya, memberikan sebuah penyegaran di tengah tumpukan kemalasan para penulis pula ketiadaan logika dalam menontonnya. Bodohnya lagi saya mengungkit dan mempertanyakan hal demikan.


SCORE : 1/5

Posting Komentar

0 Komentar