St. Agatha adalah jenis tontonan berplot tipis yang sepenuhnya mengandalkan sebuah kejutan di tiap adegannya. Entah itu dari karakternya hingga biara tua tempat seorang wanita hamil bernama Mary (Sabrina Kern) yang memutuskan untuk melakukan persalinan dikarenakan ketiadaan biaya, hidup sebatang kara karena sebuah kejadian masa lalu yang membuat sang ayah membencinya. Bisa dipahami keputusan Mary-lantaran sang ayah sangatlah abusive, menghabiskan waktu sepenuhnya bersama minuman keras.
Prolognya tampil meyakinkan, nuansa tak nyaman yang di balut dengan warna gelap tampil mlenghiasi adegannya, kala kali pertama Mary disambut sang kepala biara (Carolyn Hennesy) semuanya tampak biasa, sang Mother Superior menjanjikan sebuah kepastian terhadap keselamatan sang jabang bayi dengan alasan Mary hanya mematuhi aturan yang dibuat. Mary yang dalam tahap berdamai dengan masa lalu hanya mengangguk iya, hingga sebuah kejadian di suatu malam yang melibatkan peti mata membawa dirinya menanyakan identitas biara yang ditempatinya.
Dalang dibalik semua kesuraman milik St. Agatha bersumber dari Darren Lynn Bousman (Saw II, III, IV) yang mampu menciptakan sebuah kengerian tersendiri bagi filmnya. Itu terjadi di paruh pertama kala siksaan pertama terhadap Mary diperlihatkan. Kepiawaian Darren merangkai momen yang cukup disgusting tersebut sejatinya meyakinkan saya agar tetap fokus terhadap layar. Hingga semuanya harus menemui sandungan yang cukup signifikan kala sebuah penebusan gagal disajikan sebagaimana mestinya.
Ya, penyebabnya adalah dari para penulis naskah yang terdiri dari 4 orang (Sara Sometti Michaels, Shaun Fletcher, Clint Sears, Andy Demetrio) yang bak kebingungan bagaimana melebarkan penceritaan-yang akhirnya menimbulkan sebuah kebingungan tersendiri yang memaksa sebuah repetisi. Alhasil, apa yang hendak di sampaikan di third-act-nya sendiri adalah sebuah perjalanan yang melelahkan.
Saya tak mengerti soal arti dari sebuah "mimpi" yang dialami Mary selain membawa sebuah flashback tersendiri, pun penggantian nama dari "Mary" ke "Agatha" pun tak memiliki alasan lebih selain menyelaraskan dengan judulnya saja. Hal yang dirasa mengganggu ini sama sekali tak dijelaskan oleh para penulis maupun Darren yang hanya sebatas mengulang kembali cara Agatha dalam melarikan diri-yang dalam penerapannya tak lebih dari sebuah penguluran waktu demi menutupi kekosongan durasi.
Untungnya, karakternya cukup mampu memberikan sebuah kejengkelan tersendiri (in a good way) yang membuat saya turut mengutuk bahkan membencinya. Pasca Mother Superior, sang pelayan biara bernama Paula (Trin Miller) mampu menyuntikkan sebuah hal yang patut kita benci berkat tingkahnya.
Konklusinya luar biasa malas dengan menambahkan sebuah hal lain berupa kedok kejahatan yang kurang elaborasi berkat lemahnya naskah. Alhasil, semuanya terasa dipaksakan masuk begitu saja tanpa sebuah kesinambungan yang benar-benar jelas. Setidaknya, Darren Lynn Bousman mampu memberikan sentuhan gore yang meyakinkan di tengah ceritanya yang cukup meragukan.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar