Titisan Setan selaku film
pertama dari rumah produksi Intercept Film adalah bukti nyata sebuah karya yang
hanya mengikuti tren horor belakangan tanpa memenuhi standarisasi naskah yang
sejatinya di abaikan demi mengeruk pundi-pundi finansial. Jangan terkejut jika
ceritanya sendiri tak lebih tipis dan layak disandingan dengan cerita FTV,
malahan cerita FTV lebih berkelas daripada cerita Titisan Setan ini yang penuh
dengan lubang logika pula setumpuk pertanyaan menganga.
Mengenai Melissa (Wendy
Wilson) yang terpaksa berbohong kepada sang nenek (Muthia Datau) demi
menghabiskan waktu bersama Bara (Baim Wong) sang kekasih yang mengajaknya
liburan. Seperti kebanyakan film horor klasik, tentu akan ada sebuah adegan
mobil mogok yang mengharuskan mereka menginap di suatu tempat. Dan di sini,
villa milik sang ayah dari Bara adalah tempatnya. Tempat di mana teror hantu
berlangsung pula sebuah niatan jahat terselubung.
Menonton Titisan Setan
adalah sebuah pekerjaan yang melelahkan. Itu impresi pertama saya kala berhasil
keluar dari jerat keburukan durasi 76 menit yang berasa 3 kali lipat. Sedari
awal durasi, kita diperlihatkan seorang ibu yang diperankan oleh Diah
Permatasari yang tengah menggendong seorang bayi, naas, nasib sang ibu
meninggal begitu saja. Tanpa sebuah pen jelasan terkait kematian sang ibu, kita
di bawa ke masa sekarang di mana para karakternya merencanakan sebuah liburan.
Dari sini saja, Titisan Setan sudah melabeli dirinya sebagai sebuah horor lokal
berkualitas jongkok.
Pun, mengenai sang hantu yang
luar biasa mengganggu dengan penampilan yang tak menyeramkan sudah di tampilkan
sedari awal durasi. Ini mengurangi sebuah esensi filmnya yang tak lagi
memberikan sebuah kejutan tersendiri. Sutradara debutan, Agusti Tanjung
(sebelumnya pernah menjadi asisten sutradara film Mall Klender dan The Doll 2)
belum piawai bagaimana menjalin deretan jumpscare-yang akhirnya tampil dengan
begitu buruk-kala deretan musik berisik turut menghentak menemani penampakan
yang luar biasa menggelikan.
Keburukan dalam eksekusi
turut diperparah dengan tangkapan kamera yang sengaja diperlambat, membawa
penonton melihat sudut demi sudut ruangan tanpa ada sebuah urgensi terkait
pengadeganan. Untuk apa memperlambat laju kamera kalau tak memiliki arti
sekalipun? Tentu, demi mengulur durasi pula menutupi sebuah kebingungan
eksekusi.
Seperti yang telah saya
singgung sebelumnya. Titisan Setan yang naskahnya ditulis oleh Misaini Indra
menyimpan setumpuk kebingungan terhadap guliran pondasi utamanya. Misalnya
mengenai motivasi sang hantu yang tak jelas, saya paham niatanya adalah
“melindungi” sang anak-yang justru patut dipertanyakan kembali maksudnya.
Itulah mengapa karakter
teman Melissa dan Bara, Gaby (Aliyah Faizah) dan sang kekasih, Angga (Igor
Saykoji) hanya sebatas daging bernyawa yang siap menjadi korban. Bermodalkan
konflik kecil khas sinetron, Gaby dan Angga tak lebih memiliki urgensi lebih
selain sebagai sumber kekesalan Bara pula Melissa. Pun, saya memilih untuk
bungkam terkait karakterisasi yang dimiliki karakternya yang begitu dangkal.
Kekesalan lain turut hadir
kala Agusti Tanjung yang turut membawa filmnya menyentuh ranah gore-yang nyaris
tak memiliki taji. Itu bermuara kala sebuah adegan menampilkan banjir darah
lewat sebuah sebab yang klise, sebatas terlempar ke lantai-yang menghasilkan
tiga ember darah dengan durasi yang tak seberapa lama. Ini membuktikan bahwa
Titisan Setan tak lebih dari sekedar horor yang hanya sebatas memenuhi durasi,
tanpa sebuah bobot berisi di ranah penceritaan. Ngomong-ngomong, adegan intim
yang nanggung itu benar-benar dipaksakan, apalagi pakai unsur BDSM segala lagi.
Hadeuh...
SCORE : 0.5/5
0 Komentar