Layaknya produksi buatan Illumination Studios lainnya, The Grinch mengikuti pola pakem yang melekat pada rumah produksi tersebut dengan menampilkan (bahkan merepetisi) guliran adegan konyol dan sering kali hit-and-miss yang kemudian melucuti potensi dari pondasi penceritaan yang diusung. Bukan sebuah kejutan kala semua turut tenggelam berkat slogan "kids just wanna have fun" yang kemudian para pembuatnya melupakan bagaimana para penonton dewasa menontonnya.
Adaptasi buku anak-anak karangan Dr. Seuss yang bertajuk How the Grinch Stole Christmas! ini menampilkan si makhluk hijau bernama Grinch (Benedict Cumberbatch) yang tinggal di Mount Crumpet, si sinis pembenci natal. Hal itu tentu di dasari sebuah kejadian masa kecil kala ia tinggal di sebuah panti asuhan, mendengar kabar bahwa warga Whoville akan melangsungkan perayaan tiga kali lipat dari biasanya Grinch kemudian berencana menggagalkan perayaan natal dengan menyamar sebagai seorang Santa Claus.
Ya, jika anda sudah membaca materi sumbernya yang berisikan perjuangan sekali waktu Grinch dalam membatalkan perayaan natal hingga kemudian ia menyadari makna dari perayaan tersebut. The Grinch yang ditulis naskahnya oleh Michael LeSieur (You, Me and Dupree,
Keeping Up with the Joneses) dan Tommy Swerdlow (Snow Dogs, Bushwacked) memberikan sebuah pendekatan realis dengan sumbernya, meski di tataran eksekusi semuanya berujung hambar.
Ya, eksekusi yang dilakukan oleh duo sutradara Scott Mosier dan Yarrow Cheney (The Secret Life of Pets) tak lebih dari sekedar menampilkan perjuangan Grinch dalam menggagalkan natal bersama sang anjing loyalnya, Max. Berbekal teknologi yang ia rancang sendiri, Grinch dengan mudah mencuri natal yang sesekali usahanya berjalan lancar pula terjatuh. Repetisi ini terus di ulang yang menimbulkan sebuah kejemuan tersendiri, sesekali komedi slapstick ditambahkan yang justru bernasib serupa.
Grinch memang jenius, segala alat teknologi berhasil ia ciptakan. Namun, semuanya bak tiada arti jika hanya memiliki kegunaan sebatas pengantar kopi dan alat pelompat rumah. Alhasil, durasi 86 menit pun di rasa cukup membosankan, sebelum akhirnya menunjukan sebuah keberhasilan mengaduk perasaan lewat 15 menit terakhirnya.
Ya, 15 menit terakhirnya adalah penyelamat filmnya. Kala Grinch yang memiliki hati yang dua kali lipat lebih kecil dari ukuran biasanya mulai memahami makna dari perayaan natal berkat seorang bocah bernama Cindy Lou Who (Cameron Seely), gadis cilik yang ingin bertemu Santa guna mengajukan sebuah permintaan agar sang ibu yang bekerja serta merawat ketiga buah hatinya bahagia.
Penokohan serta relasi kedua karakter tersebut sejatinya bisa lebih menohok jika Mosier dan Cheney lebih mengandalkan dan mempertebal elemen dramatik ketimbang eksplorasi nihil emosi dalam penebalan unsur komedi. Walaupun demikian, tata artistik gambarnya begitu menarik, terlebih kala menyorot warga Whoville ketika "bernyanyi dalam sebuah harmoni" sembari berpegangan tangan. Ini adalah sebuah pemandangan yang menyejukkan pula memberikan siratan makna lain seputar natal-yang dapat diaplikasikan bagi mereka yang tak merayakan. Konklusinya mendadak bukan? Ini bisa dipahami karena Natal memang sebuah keajaiban bukan?
SCORE : 3/5
0 Komentar