(REVIEW ini mengandung SPOILER)
Seperti kawanan burung yang Malorie (Sandra Bullock) selamatkan di sebuah supermarket ke dalam sebuah kotak, kehidupan yang Malorie beserta masyarakat lainnya harus mengalami hal serupa, terkurung dalam sebuah ketidakbebasan yang mendekati pada sebuah kematian. Bird Box adalah film post apocalyptic yang memaksa para tokoh di dalamnya harus menutup mata demi bertahan hidup akibat sebuah virus (or something like that) menginvasi saraf mata serta otak manusia untuk melakukan sebuah bunuh diri. Praktis, mendengar premis tersebut ini adalah versi lain dari A Quiet Place karya John Krasinski itu.
Dalam Bird Box, sutradara Susanne Bier (A Second Chance, Serena) membagi penceritaan ke dalam dua periode, di mana naskah garapan Eric Heisserer (Hours, The Thing, Arrival) bercerita dalam dua babak: saat invasi berlangsung dan lima tahun setelah peristiwa tersebut. Narasi ini sejatinya saling bertautan, mengisu durasi 2 jam dengan sebuah benang merah yang cukup signifikan. Kala saat invasi berlangsung, Bier memperlihatkan sekelompok orang yang survive di dalam sebuah rumah dengan persediaan stok makanan terbatas. Di mana saat itu, Malorie yang tengah hamil tua bertemu dengan Tom (Trevante Rhodes) serta Douglas (John Malkovich) si pecandu minuman yang gemar melontarkan dialog bernada sarkasme.
Sementara pasca lima tahun berselang, Malorie harus bertahan hidup menyusuri sungai demi sampai ke sebuah tempat berlindung bersama kedua anaknya yang tak sempat di beri nama, hanya memanggil mereka dengan sebutan Boy (Julian Edwards) dan Girl (Vivien Lyra Blair). Segmen ini adalah poin yang paling krusial di mana bahaya dua kali lipat. Bier sejatinya cukup piawai meramu adegan tersebut guna memunculkan sebuah ketertarikan tersendiri, meski simpati sepenuhnya kurang tercurah akibat penceritaan non-linier yang acap kali tampil melelahkan.
Bird Box adalah adaptasi dari novel buatan Josh Malerman yang cukup fenomenal berkat sebuah "isi sosial" mengenai kejadian yang disusun ambigu, kita tak pernah mengetahui secara jelas mengenai tampilan fisik sang monster yang berbeda di setiap orang melihatnya. Pun, Bier pun sama merangkum hal tersebut dengan pendekatan ambiguitas yang cukup kentara.
Muncul ancaman lain berupa "mereka" yang dapat melihat yang menimpa para orang yang terganggu mentalnya, mereka mengajak para manusia normal untuk membuka mata dan merasakan keindahan sang makhluk sebelum mereka meregang nyawa. Ini sejatinya bisa menambah bobot penceritaan semakin kompleks yang nyatanya gagal disajikan beriringan kala Bier kerepotan merangkum materi tersebut yang menyebabkan penceritaan kurang berimbang, penuh teka-teki dan misteri di awal dan hampa menjelang akhir.
Alhasil, pencapaian yang diharapkan pun tak sepenuhnya terpuaskan, kala Bier mulai kerepotan dan membungkus materi konflik dengan penyelesaian khas opera sabun ketika menjelaskan babak pertama. Untungnya, babak keduanya sendiri tampil cukup memuaskan kala berhasil merangkum sebuah "inti" dari filmnya yang meski tak berimbang memberikan sebuah jawaban yang pasti.
(Spoiler start here) Bird Box adalah perihal mempercayai keyakinan dan harapan yang acap kali disepelekan oleh manusia. Tokoh Malorie yang dimainkan oleh Bullock melukiskan hal demikian, kala Malorie yang hidup berbeda dengan orang kebanyakan perihal memandang hidup dengan mata tertutup yang didasari kembang tumbuhnya bersama sosok ayah yang tak biasanya. Itulah mengapa ia berhasil dengan selamat di sebuah tempat yang tak bisa ditembus sang makhluk (baca: kamp tuna netra) yang memang telah terbiasa melihat dengan mata tertutup dan menggunakan keyakinan sebagai petunjuk.
Bier memang tak menyajikan sebuah penebusan yang terbilang kompleks meski dapat dipahami tajinya. Adakalanya penceritaannya mencapai puncak dan turun seketika. Entah ini akibat kurang jelinya ia menerapkan atau kebingungan dalam menampilkan sebuah adegan, yang jelas Bird Box adalah sebuah post apocalyptic yang memang menjanjikan berkat premis simpelnya.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar