Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

LIAM DAN LAILA (2018)

Produksi kedua Mahakarya Pictures pasca Surau dan Silek (2017), Liam dan Laila masih menyuntikkan unsur budaya Minangkabau yang kentara, terbukti dengan penggunaan dialog yang hampir semuanya menggunakan bahasa Minang. Tentu, keputusan ini patut untuk diapresiasi lebih karena mengangkat sebuah bahasa lokal serta budaya yang melekat di tanah Minang. Dalam Liam dan Laila, budaya yang diangkat ialah seputar budaya perjodohan yang masih dianggap sebuah hal yang sakral. Pasalnya, dalam kasus ini, orang tertua yang terdiri dari Mak Tuo, Uni serta Uda turut berperan menentukan nasib sang mempelai wanita. Dari sini timbul sebuah kebingungan pula masalah yang lumayan pelik, kala cinta serta kebebasan harus terhalang oleh budaya serta agama.



Agama mungkin bisa dijangkau, ini yang membuat Liam (Jonatan Cerrada) pemuda asal Prancis yang nekat datang ke tanah Minang demi meminang Laila (Nirina Zubir) setelah tiga tahun berinteraksi lewat facebook. Liam menemukan ilmu baru dari Laila, yakni terkait pengetahuan Islam yang sebenarnya setelah mendapati sebuah tragedi di Prancis yang menuduh Islam. Dari sini ketertarikan Liam terhadap Islam makin bertambah, yang turut pula bertambahnya perasaam terhadap Laila. Namun, meminang Laila tak semudah yang dibayangkan, tak cukup dengan menyatakan sebuah ketulusan di depan kandang singa, ia harus berhadapan dengan adat istiadat yang kuat, bahkan mengalahkan agama sekaligus.


Perbedaan budaya yang menjadi kendala bagi Naziat (Linda Zubir), pikiran kolot pun ia gunakan kala mengira bahwa Liam hanya memanfaatkan Laila guna mencari kelemahan Islam. Sebaliknya, Laila berpikiran terbuka ditengah kurangnya gerak untuk ia mencurahkan pendapat pula keinginan. Entah berapa lelaki yang ditolak dan tak direstui oleh Naziat karena mereka hanya lulusan SMA. Di sisi lain, para tetangga sedang senangnya berbisik, menggunjing Laila yang berumur 31 tahun dan tak kunjung menikah. Kondisi serupa ini kerap kita temui di kehidupan nyata, hingga sangat relevan pula relatable bagi mereka yang memperjuangkan cinta di tengah cobaan serupa yang mendera.


Liam dibantu oleh Jamil (David Chalik), paman dari Laila yang merupakan seorang kepala dinas, ia bahkan mengurus segala surat yang mempersulit Liam untuk menikahi Laila yang dijadikan lahan untuk mengkritisi sistem birokrasi serta adat istiadat oleh sang sutradara, Arief Malinmudo (turut merangkap sebagai penulis naskah) dalam debutnya ini.


Terinspirasi berdasarkan kisah temannya yang berasal dari Italia, Arief sejatinya cukup piawai mendeskripsikan beragam problema adat serta budaya Minang. Sayangnya, semuanya tak berjalan penuh. Sudut pandang terhadap motivasi karakter dirasa ambigu. Di mana kita melihat Liam yang berusaha dan kembali menemui problema di tengah masa deportasi 30 hari yang mengejarnya. Untungnya Jonatan Cerrada tampil meyakinkan di debutnya. Sementara Nirina, seperti biasa ia memang piawai mengolah rasa ditengah kurangnya jangkauan lebih terhadap karakternya.


Liam dan Laila sejatinya sukses menjalankan sebuah segresi pula perjuangan melawan budaya pula mengkritsi birokrasi. Sayangnya, semuanya tampil terlalu cepat tanpa mencapai titik yang benar-benar penuh. Repetisi melekat kala beragam cobaan yang dialami Liam terlampau bertubi-tubi, yang dalam salah satu adegan tampil cringey kala Liam dituduh kabur tak melunasi administrasi pasca melakukan sunat. Padahal, petugasnya melihat sendiri ia tengah menggenggam uang di sebuah mesin ATM. Alhasil, momen pengejaran yang terjadi dirasa terlalu dibuat-buat untuk memenuhi kuota durasi.


Meskipun tak sempurna, untuk ukuran debutan Arief tampil cukup meyakinkan. Ini terbukti kala sebuah payoff ditampilkan yang begitu hangat pula aspek terbaik (jika tidak ingin dibilang satu-satunya). Sebuah momen hangat dan senyum mulai melebar, menandakan sebuah perjuangan yang tak sia-sia di tengah beragam aspek yang kebanyakan tampil sia-sia.


SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar