Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

I CAN ONLY IMAGINE (2018)

Di luar unsur religiusitas yang kental melekat pada filmnya, I Can Only Imagine adalah sebuah drama keluarga yang kompleks terhadap sebuah relasi ayah dan anak. Di mana lewat filmnya sendiri, Erwin Brothers mengukuhkan bahwa masih ada sedikit cinta pula pengampunan untuk memulai kembali, lewat media Tuhan pula tindakan yang berani memulai. I can Only Imagine memang bersifat positif, tapi ia menolak untuk tampil naif.
 
 
Di dasari dari sebuah cerita dari sebuah lagu yang berjudul sama milik MercyMe, I Can Only Imagine merupakan biografi inspirasional bagi mereka para umat Kristiani. Lagu I Can Only Imagine milik Bart Millard adalah lagu Kristen kontemporer yang paling banyak di mainkan setiap waktu. Tak salah jika lagu yang berisi tentang pengharapan dan pengampunan ini berhasil mendapatkan golden platinum, mengangkat derajat MercyMe sebagai salah satu band rohani paling populer sampai sekarang. I Can Only Imagine mengejawantahkan kisah di balik pembuatan lagu tersebut dalam balutan drama keluarga yang menyentuh.
 
 
Bart Millard (J. Michael Finley) adalah pria yang sedari kecil mengagumi lagu dan musik. Earphone berwarna merah senantiasa menemaninya kala ia bermain hingga melindunginya guna tak mendengar luapan amarah yang dilontarkan sang ayah, Arthur (Dennis Quaid) kepada sang ibu (Tanya Clarke). Arthur adalah sosok monster di mata Bart. Keinginannya adalah pergi menjauh dari rumah pasca sang ibu meninggalkannya di sebuah kamp. Dari sana, Bart bertemu dengan Shannon (Madeline Carroll) yang kemudian menjadi kekasihnya.
 
 
"Mimpi takkan mampu membayar tagihan" begitu ucap Arthur kepada Bart yang melarang keras sang anak bermimpi pula berimajinasi. Hingga, kala Bart menjadi seorang pemain dalam sebuah drama panggung, Arthur lantas kaget pula pingsan. Jurangkultural yang baru saja dilihat Arthur adalah pukulan yang cukup keras, pasalnya, selama ia hidup bersama Bart ia sama sekali tak mengenal sang anak. Situasi ini mungkin akan dirasa relatable pada masa kini.
 
 
I Can Only Imagine mengikuti pakem di mana sebuah film bertemakan biografi di buat, tuturannya tak lebih dari kisah episodik dari tahun ke tahun. Naskah garapan Jon Erwin, Brent McCorkle dan Alex Cramer memang tak spesial. Namun, di dalamnya terdapat sebuah pesan pula sebuah tindakan nyata dari kekuatan sebuah harapan, permohonan pula memulai kembali yang dibungkus begitu mumpuni dalam relasi ayah-anak yang saling menguatkan.
 
 
Poin itulah yang membuat I Can Only Imagine kian terasa. Ini adalah sebuah kisah personal seseorang untuk seseorang pasca menempuh sekelumit masalah dan kemudian berdamai dengan masalah itu. Obrolan kala Bart kembali ke rumah pasca menghabiskan waktu bersama band-nya adalah salah satu momen terbaik dari film ini. Di mana sebuah narasi bertautan yang kental dengan sebuah kausalitas ini menghasilkan sebuah drama "meja makan" yang penuh dengan emosi.
 
 
Dari sana pula kita dapat melihat sosok Arthur yang abusive mendadak terbata-bata kala ia hendak memulai obrolan. Ini tentu tak lepas dari performa kaya rasa yang dihantarkan Dennis Quaid yang mampu meraih simpati pasca kita membencinya. Dalam realita pun serupa, seseorang pasti akan mengalami sebuah perubahan, mencoba memperbaiki diri dengan lebih baik setelah berkutat dengan sebuah hal yang berat. Ini yang membuat I Can Only Imagine terasa membumi.
 
 
Mempunyai motivasi yang kuat berkat penggarapan yang cermat patut dialamatkan pada film ini. Hingga momen puncak kala Bart menyanyikan sebuah lagu spesial ini begitu menggetarkan hati. Ada rasa serta rindu yang menggelayuti diri Bart yang dibawakan secara natural pleh J. Michael Finley. Mungkin lagu tersebut ditulis oleh Bart kurang dari sepuluh menit, namun untuk mewujudkannya perlu seumur hidup.
 
 
I Can Only Imagine memang tak seutuhnya tampil sempurna. Pengadeganan Erwin Brothers yang terlampau cepat mungkin sedikit mengurangi kenikmatan kala kita menikmati napak tilas pula perjalan hidup seorang Bart Millard. Untungnya, ini tak lantas membuat I Can Only Imagine tumpul begitu saja berkat sensitivitas rasa yang mengalir kala durasi 110 menit berjalan. Pun, dapat dipahami ini adalah bentuk pencocokan pula ketepatan durasi. Selama "poin utama" ditetapkan, sulit menampik bahwa I Can Only Imagine adalah suguhan yang konsisten pula kompeten.


SCORE : 4/5

Posting Komentar

0 Komentar