Sebagaimana kuda jenis thoroughbred yang merupakan ras kuda murni yang terkenal karena penggunaannya dalam balap kuda, sama halnya dengan para thoroughbreds di dalam karakter film ini yang terkenal akan kemewahan serta kekayaan yang dimiliki dan dinikmati oleh para mereka keturunan ningrat. Thoroughbreds yang merupakan debut seorang Cory Finley dalam film panjangnya ini berhasil menampilkan sebuah kekayaan dan keintiman yang terpatri secara bersamaan. Namun, Finley menegaskan bahwa semua yang dimiliki dan dirasakan oleh para keturunan ningrat rupanya menyimpan sebuah ambisi tertentu yang tertahan akibat terhalang sebuah peraturan yang melekat.
Itu semua digambarkan Finley lewat kacamata seorang Lily (Anya Taylor-Joy) yang didatangi Amanda (Olivia Cooke) pasca bertahun-tahun tak bertemu dan tak saling berkomunikasi. Tentu, ada kecanggungan terpatri diantara mereka. Terlebih beberapa perubahan yang cukup mengejutkan. Amanda baru saja selesai menjalani sebuah proses rehabilitasi pasca membunuh kuda thoroughbred kesayangan sang ibu. Sementara Lily, yang tampil anggun di luar ternyata memiliki sebuah kebencian tersendiri terhadap sang ayah tiri, Mark (Paul Sparks) yang menurutnya otoriter dan menunjung tinggi peraturan kesehatan. Kebenciannya memuncak kala sang ayah memasukannya ke sebuah universitas yang sama sekali tak ingin ia tempati.
Sepintas, Thoroughbreds hanya berkutat pada sebuah kebencian yang dirasakan para kawula muda belaka yang sepintas mirip dengan Heathers-nya Michael Lehmann. Cory Finley yang turut menulis naskahnya (awalnya hanya akan digarap sebagai drama panggung serta mengalami limbo pasca gagal ditayangkan selama dua tahun) memainkan rasa "benci" tersebut berbeda dari biasanya. Di mana sebuah kebencian turut dibarengi sebuah ambisi yang tertahan dan terhalang oleh keadaan. Anya Taylor-Joy mewadahi rasa benci tersebut sedemikian baik, kala sampul elegan yang dimilikinya ternyata merupakan bentuk konformitas seorang ningrat. Terlebih, hadir Olivia Cooke dengan performa yang sama baiknya, mengimbangi rasa "benci" dalam tuturan yang sebaliknya. Alhasil, chemistry yang saling berlawanan ini mampu menghasilkan sebuah keintiman yang sama kuatnya.
Lily belajar dari Amanda yang mampu memanipulasi air mata pula dapat bertindak tanpa rasa "tertahan". Dari sini, karakter Amanda dan Lily saling bahu-membahu menjalankan sebuah misi kriminalitas, misinya adalah membunuh ayah tiri dari Lily. Beragam cara dilakukan, termasuk dengan merekrut seorang "calon pembunuh" yang juga merupakan seorang drugdealer kelas teri dengan mimpi setinggi langit, Tim (Anton Yelchin dalam performa terakhirnya) namanya. Tim merupakan sebuah point of view dari penonton. Ia digambarkan seorang manusia biasa yang jauh dari kasta ningrat, dari sini Tim mewakili perasaan kita akan sampul "ningrat" dalam situasi yang jauh dari makna sopan yang dijunjung para ningrat.
Satu hal yang pasti, menyaksikan Thoroughbreds merupakan sajian menyimak pembicaraan secara intens dan real yang berkat kamera hasil bidikan Lyle Vincent memberikan sebuah kesan realistis pula intens. Sementara, musik gubahan Erik Friedlander senantiasa memberikan nuansa misteri yang menggiring kita pada sebuah ketakutan yang siap untuk termuntahkan. Dengan demikian, sangat mudah dan mutlak menyebut bahwa Thoroughbreds menjunjung tata artistik yang kentara dengan sebuah makna dari "keindahan sinema".
Tak hanya sampai di situ saja, setiap tatapan, perbuatan hingga beragam tindakan yang dilakukan para karakternya mampu menghasilkan sebuah kesan tersendiri kala narasi slow-motion senantiasa menemani. Puncaknya, konklusi diejawantahkan dengan penuh ambiguitas moral yang menebus "tekanan dan tahanan" dengan menghempaskan sebuah tindakan yang menyakitkan yang ditebus sebuah kekejaman. Namun, seperti makna judulnya, Thoroughbreds tak hanya sampai di situ, trik lain yang jauh dari kata pintar kemudian membungkus filmnya dengan sedemikian pintar.
SCORE : 4/5
0 Komentar