Escape Room adalah film yang menyenangkan kala kita mencari sebuah tontonan eskapisme pemuas mata. Setidaknya itu yang saya niatkan kala menonton filmnya, enggan untuk berpikir penuh dan menikmati hiburan berupa gempuran kematian yang siap hadir. Ini sejatinya berjalan cukup efektif berkat sutradara Adam Robitel (The Taking of Deborah Logan, Insidious: The Last Key) dalam memainkan tempo. Robitel tahu betul dalam menyajikan sebuah kesenangan di atas penderitaan para karakternya, sehingga intensitas kerap dipacu kencang yang melucuti dan membuka penceritaan filmnya yang sama sekali tipis.
Ya, naskah garapan Bragi F. Schut dan Maria Melnik sangatlah tipis. Dari awal kita diperkenalkan dengan tiga karakter, diantaranya: Zoey (Taylor Russell). mahasiswi fisika yang pemalu nan introvert dengan segala kegemarannya terhadap rumus, Ben (Logan Miller), si penjaga toko dengan kesulitan finansialnya serta Jason (Jay Ellis) si trader muda sukses. Mereka menerima sebuah kotak misterius dari kenalan masing-masing, yang di dalamnya berisi sebuah undangan (atau tantangan lebih tepatnya) menjajal sebuah wahana bernama escape room milik perusahaan imersif bernama Minos. Pemenang utama permainan ini dijanjikan hadiah uang $10 ribu.
Selain mereka bertiga, turut hadir pula Amanda (Deborah Ann Woll) sang mantan veteran perang, mantan penambang bernama Mike (Tyler Labine) serta Danny (Nick Dodani) si penggila permainan. Mereka awalnya menganggap permainan ini biasa sebelum satu-persatu dari mereka kelak bakalan meregang nyawa.
Terdengar klise bukan? Untungnya Escape Room tak hanya sebatas menjadikan karakter mereka sebagai "calon manusia mati", lebih dari itu-kehidupan masa silam mereka turut berkontribusi dalam permainan ruangan yang masing-masing mewakili salah satu pemain. Ini yang cukup menarik, kala orang yang beruntung harus bersaing dengan orang beruntung lainnya, yang kemudian ditemukan orang yang paling beruntung.
Total terdapat lima ruangan, enam dengan ruangan menjelang konklusi. Masing-masing ruangan begitu mematikan, mulai dari ruangan terbalik, ruangan seperti oven raksasa, interior bersalju hingga ruangan dengan nuansa psychedelic. Begitu mematikannya ruangan ini sehingga membuat para pemain harus meregang nyawa dengan cara ekstrim sekaligus. Dari segi teknis, jelas Robitel menguasai betul dalam menciptakan wahana mengerikan sekalipun.
Namun, berbanding terbalik dengan sisi teknisnya yang memukau, tidak dengan cara karakter meregang nyawa-yang kebanyakan ditampilkan secara off-screen. Ini jelas berdampak pada penceritaan pula berujung hambar dan kurang memuaskan bagi para mereka pencinta gore yang turut melemahkan penceritaannya yang luar biasa tipis. Sangat disayangkan memang.
Padahal, Escape Room adalah sebuah penyegaran di kala kita butuh hiburan. Robitel paham itu yang membuat narasi penceritaannya berjalan cepat tanpa basa-basi terhadap sebuah eksekusi. Hal tepat yang ia sadari cukup membantu, meski sulit menampik bahwa Escape Room adalah tontonan yang serba tanggung. Kita tunggu sebuah perwujudan dari tease akhir yang menyiratkan sebuah sekuel, yang mana makin gila dan tak masuk akal. Semoga kedepannya filmnya tak bernasib hampa seperti pendahulunya yang semata berjalan cepat guna menyibak sebuah twist yang sama sekali tak terlalu mencengangkan.
SCORE : 3/5
0 Komentar