Saya memang bukan penggemar berat serial Dragon Ball yang telah menelurkan dua film sejak Dragon Ball Z: Battle of Gods (2013) dan Dragon Ball Z: Resurrection "F" (2015) yang merupakan sebuah penyegaran bagi mereka para penggemar. Film ketiganya bertajuk Dragon Ball Super: Broly yang merupakan merek dagang baru dengan menggunakan kata "super", menampilkan Broly yang sejak Dragon Ball Z: Broly-The Legendary Super Saiyan (1993) yang merupakan film ke-11-nya. Terlepas dari saya yang sama sekali awam dengan kisah aslinya (sebatas mengenal karakter Son Goku, Vegeta, Picollo dan Frieza beserta jurus Kamehameha) sulit untuk menampik bahwa Dragon Ball Super: Broly adalah sebuah tontonan over-the-top yang akan membuat penggemarnya bersuka ria, bertepuk tangan menikmati suguhan aksinya. Pun demikian dengan saya.
Kursi sutradara digawangi oleh Tatsuya Nagamine (One Piece Film Z) yang atas naskah garapan Akira Toriyama membagi guliran durasi selama 100 menit ke dalam dua babak. Pertama, menghabiskan waktu untuk menceritakan asal-muasal Broly yang dibuang oleh King Vegeta ke sebuah planet tandus bernama Vampa. Hal ini tentu mempunyai alasan yang logis, King Vegeta tak ingin ada sosok yang lebih kuat dari keturunannya, Frieza. Di planet Vampa, Broly kecil diasuh oleh sang ayah yang bernama Paragus, sosok yang menjadi alasan mengapa Broly menjadi seorang mesin pembunuh di tengah sifatnya yang sangat membenci perkelahian.
Alhasil, naskahnya mempunyai motivasi yang kuat karena kental dengan sebuah proses yang selama ini membentuk sosok Broly. Hingga kala paruh kedua yang merupakan puncak euphoria para penggemarnya kala deretam baku hantam pemuas mata tampil, menghadirkan pertarungan epic threesome antara Son Goku-Broly-Vegeta yang berkat kecermatan Nagamine menjadi sebuah sekuen paling memuaskan mata pula telinga yang dijejali musik gubahan Norihito Sumitomo (Color Me True) yang kian menguatkan tensi.
Deretan gambarnya sanggup memuaskan mata, pertarungan di langit, efek yang dihasilkan berupa retakan akibat salah satu karakter terlempar hingga beragam baku hantam yang melibatkan jurus andalan Kamehameha adalah pemandangan yang menyenangkan pula menggairahkan. Saya belum menyebut Gogeta (fushion antara Goku dan Vegeta) yang khas berkat rambut biru menyala. Situasi ini pula sempat masuk pada ranah komedik yang menghasilkan tawa yang tak terbendung kala beragam momen "penyatuan" antara Goku dan Vegeta sempat tak seimbang, menghadirkan sosok dengan tingkah laku unik yang menimbulkan tawa menggelitik.
Tak salah memang menyebut Dragon Ball Super: Broly sebagai sebuah sajian terbaik dari series pula film Dragon Ball. Di mana homage berupa bola naga, rumah kapsul, hingga alat pendeteksi bernama scouter tetap muncul dan dipertahankan. Pun dalam penyajiannya, Dragon Ball Super: Broly tak hanya bermain di satu tempat ketika dalam fas pertarungan. Turut pula merengsek masuk ke sebuah dimensi lain yang pada satu titik melibatkan Frieza di dalamnya. Ini pula yang menjauhkannya dari kesan monoton yang tak berkesudahan.
Dengan ini, saya akan selalu menantikan parade film selanjutnya. Apalagi bayangan tertuju kala membayangkan pertarungan yang menyatukan Sun Goku-Broly-Vegeta dalam satu kubu yang sama. Sudah bukan hal yang lumrah kala dalam Dragon Ball sering mengubah lawan menjadi kawan. Ini satu lagi yang membuat Dragon Ball Super: Broly tak hanya sebatas baku hantam saja. Turut diselipkannya kisah serta latar belakang kuat sebagai pondasi yang membentuk motivasi menghantarkan kita pada sebuah pelajaran berharga yang terpatri dan abadi.
SCORE : 4/5
0 Komentar