Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

DANCING IN THE RAIN (2018)

Saya sangat membenci ucapan seseorang mengenai film lokal pasca menilik trailer maupun menontonnya di bioskop. Kurang lebih ucapannya begini "Ini sinetron banget ya" atau "Ini film kelas FTV, gak cocok ditayangkan di bioskop, buang-buang duit saja". Itu adalah simplifikasi rendahan bagi mereka yang tak punya otak. Namun, untuk kasus Dancing in the Rain saya mengangguk dan setuju akan perbuatan itu. Ini adalah film rendahan yang dibuat oleh mereka yang tak punya otak dan kemudian dikomentari oleh seseorang yang terpaksa menurunkan otak. 



Saya sangat membenci tontonan FTV yang menggunakan disease porn berupa penyakit. Setidaknya, itu adalah tontonan eksis bagi mereka pecinta cucuran air mata, favorit ibu-ibu rumah tangga di Indonesia (meski tak semuanya). Para penulis naskah ini (that's you Tisa TS-Sukhdev Singh) misalnya, menganggap bahwa semua hal yang menyedihkan bersumber dari pada penyakit yang mematikan. Padahal, orang yang sehat saja bisa mengalami kesedihan. Entah itu bersumber dari perasaan, kekecewaan, pengkhianatan hingga saya yang menonton film ini misalnya.


Saya tak memahami betul definisi dari DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) selain sebuah autisme. Namun, setidaknya Dimas Anggara yang memerankan penderita autisme jenis tersebut mampu menampilkan sebuah simtoma-simoma yang (mungkin) dialami para penderitanya. Dimas tak salah, ia hanya menjalankan tugas dari sebuah pengarahan film ketiga Rudi Aryanto pasca Surat Cinta Untuk Starla The Movie dan The Perfect Husband yang juga bernasib sama.


Namun, melihat Ayu Dyah Pasha yang memerankan seorang psikolog melontarkan kalimat-kalimat manusia normal rasanya sebuah kesalahan. Pasalnya, naskahnya bak merupakan untaian demi untaian kalimat hasil dari laman Wikipedia. Lebih dari itu, naskahnya tak memiliki karakterisasi yang kuat (baca: dangkal). Apakah ini harus dimaklumi atau dicaci? Saya tak memilih keduanya selain mengutarakan apa yang hati ini rasakan.


Kisahnya sendiri mengenai Banyu (Dimas Anggara) penderita autisme DSM-5 yang akibat kondisinya sulit untuk menemukan teman. Di sekolah ia dijauhi, di lingkungan sekitarnya ia menjadi korban perundungan. Hingga semuanya perlahan menemukan secercah harapan kala ia bertemu dan kemudian berteman dengan Radin (Deva Mahenra) sosok sahabat yang menerima pula melindunginya. Turut bergabung pula Kinara (Bunga Zainal) yang menghiasi persahabatan mereka. Kinara dan Radin menjalin hubungan, sementara Banyu senang melihat keduanya bersama.


Sebelum bertemu mereka, Banyu hanya memiliki Eyang Uti (Christine Hakim) yang senantiasa merawatnya seorang diri pasca ditinggal kedua orang tuanya. Tentu, kehadiran Christine Hakim adalah aspek terbaik yang dimiliki film ini. Cara beliau meregulasi emosi kian terbukti kala pada sebuah adegan datang Katrin (Djenar Maesa Ayu), ibu dari Radin mendatangi Eyang Uti dan meminta Banyu untuk menjauhi Radin karena tidak normal dan membahayakan nyawa Radin. Dengan nyata kita dapat melihat kepiawaian sang aktris senior bermain rasa. Eyang dengan sabar menghadapi Katrin, sorot serta gestur tubuhnya berbicara. Meski dengan jelas kita melihat emosi di dalam dirinya yang siap meledak.


Sangat disayangkan, performa terbaik milik Christine Hakim tak dibarengi naskah yang baik. Karakterisasinya terlampau dangkal dan patut untuk dipertanyakan. Seperti dalam sebuah adegan di pasar kala Eyang Uti yang penuh kasih dan sayang meninggalkan Banyu begitu saja demi membeli sebuah telur. Jelas, ini adalah cara naskahnya untuk membuka sekuen dramatisasi. Atau dalam sebuah adegan di sebuah cafe, Banyu bersama dengan Kinara dan Radin hendak makan malam. Beberapa pria pengunjung cafe menertawakan dan menghina kondisi fisik Banyu. Come on, that's a cheap from shop opera dramatization, which is very terrible.


Itu tak seberapa parah ketika melihat karakter Katrin yang membawakan segala rencana jahatnya di depan kamera. Ini persis apa yang dilakukan karakter antagonis dalam sinetron maupun FTV. Saya tahu, keinginan sang penulis dalam memberikan sebuah tontonan berbasis tearjerker pengundang tangis. Namun, kurangnya ketepatan pula pemilihan yang tepat malah memberikan filmnya kesan norak yang tak tertandingi. Belum lagi ketika kebiasaan Tisa TS dan Sukhdev Singh memberikan sebuha twist yang tiba-tiba hadir tanpa sebuah korelasi yang jelas atau bukan karena memberikan sebuah kejutan mendadak.


Twist-nya berfungsi merusak aspek perbedaan yang coba disampaikan dengan sekali lagi menambahkan sebuah "penyakit" pada karakternya. Hingga puncaknya, salah satu karakter berkorban memberikan nyawa yang dengan sengaja sang penulis sajikan guna memberikan sekali lagi air mata. Apakah keperluan ini semua jika hanya berfungsi mengeliminasi pesan penting yang diutarakan? Saya tak tahu pasti, yang jelas ini bentuk kebodohan dan ketidakpekaan para pembuatnya. 


SCORE : 1.5/5

Posting Komentar

0 Komentar