Thugs of Hindostan begitu mewah dan besar (film India termahal kedua bersama Saaho dengan bujet $42 juta). Namun, besar bukan berarti kompleks. Thugs of Hindostan setidaknya mengikuti pakem film blockbuster berbujet besar yang nihil akan sebuah esensi pula penceritaan. Bukannya buruk, melainkan terlalu malas dalam membangun cerita, lupa akan inti dasar dan unjuk gigi dengan bermain besar-besaran.
Setidaknya itu berasal dari naskah hasil tulisan sang sutradara, Vijay Krishna Acharya (Dhoom 3) yang seolah miskin kreativitas, sekedar mengulang pakem film bertema serupa kebanyakan. Opening sequence-nya menampilkan sebuah penjajahan yang dilakukan British East India Company (dipanggil “Company”) demi menguasai Hindustan, membuat para petinggi kerajaan tunduk terhadapnya. Kekejaman itu dilakukan oleh sang petinggi, John Clive (Llyod Owen) kala merebut salah satu kerajaan yang dipimpin oleh Mirza Baig (Ronit Roy). Menghabisi para pasukan, sang Raja, Ratu, Pangeran dan menyisakan sang Puteri yang diselamatkan oleh prajurit kerajaan, Khudabaksh Azaad (Amitabh Bachchan) namanya.
Sebelas tahun berseleng, sang puteri yang bernama Zafira (Fatima Sana Shaikh) telah tumbuh menjadi seorang pemanah andal dan bergabung bersama barisan pemberontak yang dipimpin Azaad. Aksi pemberontakan di beberapa 30 menit awal memang mengunci atensi saya, menampilkan sebuah spectacle yang turut melibatkan bom, pedang pula guyuran hujan yang dibungkus sedemikian apik oleh Vijay Krishna Acharya, mengukuhkan dirinya memang piawai menyusun momen blockbuster pasca Dhoom 3.
Dalam momen itu pula turut hadir Firangi (Aamir Khan) sang penipu ulung yang tak kenal bulu, berbekal kelicikannya Firangi melakukan penyamaran. Kelicikan Firangi nantinya akan membawa karakter yang dimainkan Aamir Khan dengan penuh eksentrisme ini berlabuh pada sebuah twist yang menjadi sebuah kelokan bagi Thugs of Hindostan, sebab bukah hanya para tokohnya yang dibuat sulit percaya oleh karakternya, pun demikian dengan penonton.
Misi teranyar Firangi adalah yang terberat. Para Company meminta Firangi untuk membekuk dan menangkap Azaad. Pertemuan dengan Azaad membuat Firangi sulit untuk menipunya, yang kemudian membenturkan sebuah pilihan kala mendukung penuh perjuangan pula kemerdekaan atau tetap setia hidup mencari materi yang cukup. Menimbulkan polemik memang, kurangnya kedalaman karakter menyulitkan kita untuk mendukung penuh para karakternya.
Seperti yang telah disinggung sedari awal, Thugs of Hindostan kekurangan amunisi dalam sektor cerita. Naskahnya kental akan sebuah repetisi yang cukup melelahkan di tengah durasi 164 menit bergulir. Polanya masih sama: Dimulai sebuah pembicaraan terkait misi-sekuen musikal mengisi-aksi-hingga penurunan tensi dengan memulai pembicaraan kembali. Pola tersebut kian diulang, menurunkan intensitas pula tensi begitu saja.
Dengan demikian, sulit untuk merasa terikat maupun tergugah oleh keseluruhan hasil akhir dari Thugs of Hindostan. Namun, sulit menyangkal pula menyalahkan ketika saya begitu menikmati guliran aksinya sedari tancap aksi pertama, selebihnya terasa biasa, tak terlalu spesial. Untungnya musik gubahan John Stewart Eduri yang kental akan nuansa Pirates of Caribbean sungguh menggugah, terlebih kala nomor musikal dari Ajay-Atul dimainkan.
Lewat karakter Suraiyya yang dimainkan oleh Katrina Kaif lah penyemangat baru tampil di tengah kelemahan naskah. Katrina memberikan pula menyuntikkan energi lewat tarian lepasnya yang bergerak lincah kesana kemari. Aura bintangnya bersinar terang. Hingga kala nomor musikal Manzoor-e-Khuda dimainkan, membuka kepekaan pula keleluasaan sinema Bollywood dalam menciptakan guliran kemeriahan di malam Dusshera. Mengemas tarian sedemikian apik, menyuntikkan semangat, meski sejatinya keseluruhan filmnya tak begitu se-meriah musikalisasinya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar