Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

CAPERNAUM (2018)

Dalam Al-Kitab, Capernaum atau Capharnaüm berarti kota kuno yang terkutuk, sedangkan dalam bahasa Arab, Capernaum berarti chaos alias kacau. Judul ini tentu merujuk pada kehidupan seorang bocah berusia 12 tahun bernama Zain (Zain Al Rafeea) yang menggugat orang tuanya dengan sebuah "kejahatan" karena telah melahirkannya ke dunia dengan penuh rasa sakit dan penderitaan di ruang pengadilan. Zain merasa kesalahan sang orang tua-lah yang menjadikan kehidupannya kacau, ia hanya bisa membuat anak tanpa tahu bagaimana merawat seorang anak. Kondisi ini diteriakkan begitu lantang dan subtil oleh sutradara Nadine Labaki (Caramel, Where Do We Go Now) disamping memberikan sebuah gambaran terhadap kondisi anak-anak yang menjadi korban dari orang tua, hidup susah di jalanan.

Capernaum tersusun atas dua babak, di mana babak pertama dijadikan sebagai courtroom drama sementara babal keduanya sebagai guliran pengisahan serta gambaran flashback seorang Zain dalam menapakki kehidupan. Zain adalah bocah yang berpikir serta mempunyai perasaan tinggi, di mana kebiasaannya adalah membantu ekonomi orang tua yang hanya bisa diam di rumah tanpa memikirkan sebuah tanggung jawab. Kebiasaannya ialah membeli obat kemudian dilarutkan dalam air, diselundupkan dalam baju basah guna dijual kepada mereka yang ditahan. Tentu, kebiasaan ini tak bisa dibenarkan, namun sangat bisa dipahami.

Zain memiliki seorang adik, Sahar (Cedra Izam), namanya. Sang adik mengalami menstruasi, ketakutan Zain memuncak kala mengetahui hal itu. Karena, Sahar bisa saja dinikahkan dengan Assad (Nour el Husseini) sang pemilik kios. Dalam hal ini, Nadine Labaki yang turut menulis naskahnya bersama sang suami, Khaled Mouzanar, Jihad Hojeily, dan Michelle Keserwany menyelipkan beragam permasalahan seperti pernikahan dini, sisi kelam dari parenting, hingga human trafficking pun turut di singgung.


Alhasil, gulirann kisahnya pun terasa padat pula mempunyai sebuah korelasi tersendiri, tak hanya sekedar sambung sulam maupun jahit paksa. Itu belum seberapa, tunggu kala Capernaum turut pula mengisahkan perjuangan seorang imigran asal Ethiopia bernama Rahil (Yordanos Shiferaw) dengan sang putera semata wayangnya, Yonas (Boulwatife Treasure Bankole) ketika Zain kabur dari rumah dan menyusuri kota Beirut. Berbanding terbalik dengan sang ibu, Rahil justru memiliki cinta dan kasih sayang terhadap sang putera, ia pun rela melakukan apa saja demi Yonas, pula dengan senang hati menerima Zain.

Kondisi diatas bak sebuah kebalikan di tengah kesamaan hidup. Ya, baik Rahil maupun keluarga Zain hidup dalam strata sosial bawah. Namun, perbedaan mencolok terdapat dari sikap mereka, kala Rahil lebih mempunyai hati nurani pula sisi kemanusiaan yang tinggi ketimbang orang tua Zain yang hanya mengandalkan sang anak, berlindung dari sebuah kata "kemiskinan" yang membuatnya menjual Sahar kepada Asaad karena takut sang anak tak dapat tidur di kasur yang empuk.

Dalam eksekusinya, Nadine Labaki menggunakan kemiskinan pula kehidupan jalanan sebagai eksploitasi cerita. Itu tersaji sedemikian apik pula kuat kala Nadine tak membuat kita mengasihi Zain, lebih dari itu-Nadine mengajak kita untuk merasakan pahit serta getir kehidupan yang dijalani seorang bocah berusia 12 tahun yang tak memiliki kartu keluarga. Poin ini menggiring sang titular charchter pada sebuah kausalitas yang membuatnya berada di bilik penjara Roumieh selama 5 tahun yang kemudian menghantarkannya pada sebuah kursi pengadilan. Ini yang menjadi titik balik opening sequence-nya.

Keputusan Nadine dalam menentukan para pemain langsung dari lapangan adalah keputusan yang tepat. Zain Al Rafeea adalah seorang imigran asal Suriah yang pernah mengalami keadaan serupa. Hingga kala berada di layar, meskipun nihil sebuah pengalaman, Zain Al Rafeea mampu tampil memukau berkat performa natural yang dimilikinya, membuat sebuah perjalanan mencari senyuman ini begitu kentara pula realistis.

Capernaum adalah sebuah tontonan yang solid berkat eksekusi padat kaya makna yang dituturkan Nadine Labaki, sebuah gambaran realistis mengenai "sisi gelap kehidupan" yang akan selalu ada. Lewat Capernaum, Labaki dalam sebuah wawancara menuturkan bahwa ia ingin membuka mata dunia akan kondisi anak-anak yang tak seharusnya diemban mereka, mengharapakan sebuah harapan pula kehidupan yang layak sudah lebih dari cukup untuk mereka punya. Konklusi Capernaum menampilkan itu semua, kala senyum mengembang serta merta terpancar.


SCORE : 4.5/5

Posting Komentar

0 Komentar