Berbeda dengan film
bertemakan eksorsisme allias pengusiran setan yang menempatkan titik tersebut
sebagai sajian utama, The Possession of
Hannah Grace menempatkannya di awal cerita. Elemen tersebut kian ditinggal
oleh naskah garapan Brian Sieve (Boogeyman
2) yang kemudian memasukan unsur DNA serupa-tapi-tak sama milik The Autopsy of Jane Doe (2016) sebagai
inti cerita, menempatkan Shay Mitchell sebagai Megan Reed sang protagonis
utama. Alih-alih melakukan autopsi, sang protagonis ditugasi menjaga mayat, pekerjaan
inilah yang merupakan sebuah recovery
bagi Megan, seorang mantan polisi-setelah menjalani program rehabilitasi akibat
depresi atas kematian sang rekan kerja.
Di hari pertama kerja ia
dihadapkan atas sebuah mayat bernama Hannah Grace (Kirby Johnson) seorang
wanita yang meninggal setelah melakukan proses eksorsisme, “ia belum seutuhnya
mati” begitu ucap sang ayah, Grainger (Louis Herthum). Mayat Hannah Grace
ditumpangi dan dikendalikan oleh iblis yang membuatnya diusir ketika mendekati
gereja. Dari sini, The Possession of
Hannah Grace yang merupakan debut bagi seorang sutradara asal Belanda,
Diederik Van Rooijen sudah memenuhi standar film horor.
Namun, memenuhi standar
tak serta merta memenuhi eksekusi. Selain menggunakan pakem cerita pula elemen
khas film horor (kamar mayat, lampu gelap, eksorsisme, kerasukan) Rooijen yang
juga menambahkan unsur psikologis terhadap sang protagonis gagal menyajikan
sebuah sekuen yang benar-benar menakutkan. Ketika mayat Hannah Grace dengan
segala keanehannya kian di eksploitasi, itu pula yang membuat eksekusinya
tersaji sedemikian lemah.
Alhasil, apa yang dicapai
oleh Rooijen gagal tersaji kala filmnya nihil akan sebuah tensi, intensitas
dinaikkan hanya sebatas memperlihatkan kejanggalan pada Hannah Grace yang
kemudian merayap, berjalan cepat sebelum hilang kembali. Kala melakukan sebuah
penyerangan, semuanya pun berada pada kesan tanggung. Sebagai sebuah film b-movie, The Possession of Hannah Grace pun urung tersaji sedemikian menarik
lewat kisahnya.
Seperti yang telah saya
singgung tadi, karakter Megan mempunyai backstory
yang cukup guna dihadapkan pada sebuah teror. Kejiwaannya jelas pernah terganggu,
tengah melakukan pemulihan yang menempatkannya pada sebuah momen yang kembali
mengguncang. Kurangnya elaborasi melemahkan karakterisasi, kita tak pernah
benar-benar terikat akan ketakutannya, ini pula yang membuat filmnya nihil
untuk terkoneksi pada sebuah kesan simpati.
Memasuki konklusi,
naskahnya tak punya cukup daya guna membuat sebuah momen “penebusan” yang
setimpal. Pun penyutradaraannya hanya tersaji sedemikian datar tanpa sebuah
kelokan yang meyakinkan. Sepanjang film saya sama sekali tak merasa ketakutan
ataupun terperanjat. Ini sebuah bukti nyata akan impact filmnya yang tak memiliki taring. Pun mudah menebak konklusi
yang akan tersaji tanpa harus menonton filmnya sekalipun. Cukup menekankan
bahwa setan atau iblis berasal dari api dan harus dilawan dengan api.
SCORE
: 2/5
0 Komentar