Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

THE POSSESSION OF HANNAH GRACE (2018)


Berbeda dengan film bertemakan eksorsisme allias pengusiran setan yang menempatkan titik tersebut sebagai sajian utama, The Possession of Hannah Grace menempatkannya di awal cerita. Elemen tersebut kian ditinggal oleh naskah garapan Brian Sieve (Boogeyman 2) yang kemudian memasukan unsur DNA serupa-tapi-tak sama milik The Autopsy of Jane Doe (2016) sebagai inti cerita, menempatkan Shay Mitchell sebagai Megan Reed sang protagonis utama. Alih-alih melakukan autopsi, sang protagonis ditugasi menjaga mayat, pekerjaan inilah yang merupakan sebuah recovery bagi Megan, seorang mantan polisi-setelah menjalani program rehabilitasi akibat depresi atas kematian sang rekan kerja.


Di hari pertama kerja ia dihadapkan atas sebuah mayat bernama Hannah Grace (Kirby Johnson) seorang wanita yang meninggal setelah melakukan proses eksorsisme, “ia belum seutuhnya mati” begitu ucap sang ayah, Grainger (Louis Herthum). Mayat Hannah Grace ditumpangi dan dikendalikan oleh iblis yang membuatnya diusir ketika mendekati gereja. Dari sini, The Possession of Hannah Grace yang merupakan debut bagi seorang sutradara asal Belanda, Diederik Van Rooijen sudah memenuhi standar film horor.

Namun, memenuhi standar tak serta merta memenuhi eksekusi. Selain menggunakan pakem cerita pula elemen khas film horor (kamar mayat, lampu gelap, eksorsisme, kerasukan) Rooijen yang juga menambahkan unsur psikologis terhadap sang protagonis gagal menyajikan sebuah sekuen yang benar-benar menakutkan. Ketika mayat Hannah Grace dengan segala keanehannya kian di eksploitasi, itu pula yang membuat eksekusinya tersaji sedemikian lemah.

Alhasil, apa yang dicapai oleh Rooijen gagal tersaji kala filmnya nihil akan sebuah tensi, intensitas dinaikkan hanya sebatas memperlihatkan kejanggalan pada Hannah Grace yang kemudian merayap, berjalan cepat sebelum hilang kembali. Kala melakukan sebuah penyerangan, semuanya pun berada pada kesan tanggung. Sebagai sebuah film b-movie, The Possession of Hannah Grace pun urung tersaji sedemikian menarik lewat kisahnya.

Seperti yang telah saya singgung tadi, karakter Megan mempunyai backstory yang cukup guna dihadapkan pada sebuah teror. Kejiwaannya jelas pernah terganggu, tengah melakukan pemulihan yang menempatkannya pada sebuah momen yang kembali mengguncang. Kurangnya elaborasi melemahkan karakterisasi, kita tak pernah benar-benar terikat akan ketakutannya, ini pula yang membuat filmnya nihil untuk terkoneksi pada sebuah kesan simpati.

Memasuki konklusi, naskahnya tak punya cukup daya guna membuat sebuah momen “penebusan” yang setimpal. Pun penyutradaraannya hanya tersaji sedemikian datar tanpa sebuah kelokan yang meyakinkan. Sepanjang film saya sama sekali tak merasa ketakutan ataupun terperanjat. Ini sebuah bukti nyata akan impact filmnya yang tak memiliki taring. Pun mudah menebak konklusi yang akan tersaji tanpa harus menonton filmnya sekalipun. Cukup menekankan bahwa setan atau iblis berasal dari api dan harus dilawan dengan api.

SCORE : 2/5

Posting Komentar

0 Komentar