Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

TUSUK JELANGKUNG: DI LUBANG BUAYA (2018)

Saya amat menyukai keputusan seorang sineas untuk berani tampil beda, mendobrak batas, menciptakan sebuah pola pikir yang berbeda dan kemudian diejawantahkan ke dalam bentuk layar. Spider-Man: Into the Spider-Verse melakukan itu. Di dorong keinginan tampil serupa, Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya pun menciptakan dunianya sendiri, menjauhkan diri bahwa filmnya bukan remake dari Tusuk Jelangkung (2003). Sekali lagi, niatan tampil beda patut untuk diapresiasi, meski urusan eksekusi beda lagi.


Mungkin naskah garapan Sigit saja yang formulaik, menceritakan kakak-beradik, Sisi (Nina Kozok) dan Arik (Rayn Wijaya) yang menyambangi Taman Lubang Buaya yang (Katanya) terkenal angker itu demi memuaskan satu juta subscribers mereka. Saya teramat benci karakterisasi film horor yang tampil (sok) berani dengan segala kenekatan pula kebodohannya. Tak terkecuali di film ini, bukan hanya karakterisasi saja yang penuh dengan “kenekatan dan kebodohan” melainkan seisi filmnya yang bak mengamini hal tersebut.

Entah di sengaja ataupun tidak, sutradara Erwin Arnada (Guru Ngaji, Nini Thowok) bak memfasilitasi pernyataan “bodoh dan nekat”. Kala rapalan mantra untuk bermain jelangkung berbunyi “Datang tak diundang, pulang tak diantar” yang kemudian di modifikasi oleh Jailangkung (2017) dengan “Datang gendong, pulang bopong” yang terdengar menggelikan itu. Dalam Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya awalnya berbunyi “Datang untuk dimainkan, hilang untuk ditemukan”. Itu terdengar lebih enak, hingga sebuah modifikasi yang dilakukan Nina Kozok pun terdengar lebih modern, mengangkat derajat bahasa alam gaib, menekankan sebuah multilingualisme dengan rapalan berupa “Datang untuk dimainkan, please help me find something”. Terima kasih Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya saya yang amatir ini kemudian paham bahwasannya di alam gaib sudah menggunakan bahasa Inggris. 

Sampai sini, saya pasrah. Berusaha berkata “terserah” mau di bawa kemana oleh Erwin Arnada. Hingga kemunculan hantu yang bak tiruan boneka Smiley (2012) pun kemudian meluluhlantahkan perasaan ini, bertanya pada diri sendiri “Ini hantu atau badut pasar malam”. Saya menghela nafas, berusaha kembali bersikap optimis. Hingga kemunculan kain terbang pun turut mempertanyakan diri “Sejak kapan Alladin beralih ke dunia horror”. Tunggu, sebelum balon ulang tahun tiba-tiba ada di tengah hutan.

Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya sukses membuat definisi “tampil beda” 100% manjur dengan segala perbedaannya yang jauh dari kesan horor. Bahkan lokasi Taman Lubang Buaya yang (katanya) ada di Bali pun memiliki ketua desa seorang pria Jawa dengan logat ngapak-nya yang kental. Kita pernah menyaksikan Slamet Ambari dalam Turah (2016) dan di sini beliau menjadi kepala desa dari desa di Bali. Sungguh sebuah penegakan diversity yang harus dijunjung tinggi. Bali dan Jawa kan sama-sama Indonesia, ya kaan?

Puncak dari Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya adalah misi penyelamatan Sisi yang terjebak di alam gaib yang dilakukan oleh Arik bersama sang kekasih, Mayang (Anya Geraldine) yang patut diberikan pujian tersendiri, kala mereka berhadapan dengan kain terbang, ekspresi mereka datar bak tanpa ketakutan. Kombinasi mereka memang mematahkan definisi “ekspresi takut” yang musti ada di film horor. Sekali lagi definisi itu ditancapkan.

Di alam gaib pun, Erwin Arnada menyelipkan sebuah pesan moral berupa “penghematan air” yang rasanya sulit ada di film horor. Di sini Erwin melakukannya. Entah usaha apa lagi yang dilakukan oleh Erwin guna menutupi naskahnya yang luar biasa di luar batas ini. Cekikian tawa pula tingkah kebodohan mereka memang mengundang tawa pula hiburan tersendiri. Saya belum menyebut bahwa Jelangkung yang di lemparkan ke air terjun yang ditemukan oleh Sisi kembali di lempar kembali yang mana membuka filmnya pada sebuah cliffhanger tersendiri. Keruwetan apa lagi yang akan disajikan? Bukankah ini sudah lebih dari cukup? Saya hanya bisa menjawab dengan “LAMBAIAN TANGAN KE KAMERA......”

SCORE : 0.5/5


Posting Komentar

0 Komentar