Saya amat menyukai
keputusan seorang sineas untuk berani tampil beda, mendobrak batas, menciptakan
sebuah pola pikir yang berbeda dan kemudian diejawantahkan ke dalam bentuk
layar. Spider-Man: Into the Spider-Verse
melakukan itu. Di dorong keinginan tampil serupa, Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya pun menciptakan dunianya sendiri,
menjauhkan diri bahwa filmnya bukan remake dari Tusuk Jelangkung (2003). Sekali lagi, niatan tampil beda patut
untuk diapresiasi, meski urusan eksekusi beda lagi.
Mungkin naskah garapan
Sigit saja yang formulaik, menceritakan kakak-beradik, Sisi (Nina Kozok) dan
Arik (Rayn Wijaya) yang menyambangi Taman Lubang Buaya yang (Katanya) terkenal
angker itu demi memuaskan satu juta subscribers mereka. Saya teramat benci
karakterisasi film horor yang tampil (sok) berani dengan segala kenekatan pula
kebodohannya. Tak terkecuali di film ini, bukan hanya karakterisasi saja yang
penuh dengan “kenekatan dan kebodohan” melainkan seisi filmnya yang bak mengamini
hal tersebut.
Entah di sengaja ataupun
tidak, sutradara Erwin Arnada (Guru
Ngaji, Nini Thowok) bak memfasilitasi pernyataan “bodoh dan nekat”. Kala
rapalan mantra untuk bermain jelangkung berbunyi “Datang tak diundang, pulang
tak diantar” yang kemudian di modifikasi oleh Jailangkung (2017) dengan “Datang gendong, pulang bopong” yang
terdengar menggelikan itu. Dalam Tusuk
Jelangkung: Di Lubang Buaya awalnya berbunyi “Datang untuk dimainkan,
hilang untuk ditemukan”. Itu terdengar lebih enak, hingga sebuah modifikasi
yang dilakukan Nina Kozok pun terdengar lebih modern, mengangkat derajat bahasa
alam gaib, menekankan sebuah multilingualisme dengan rapalan berupa “Datang
untuk dimainkan, please help me find
something”. Terima kasih Tusuk
Jelangkung: Di Lubang Buaya saya yang amatir ini kemudian paham bahwasannya
di alam gaib sudah menggunakan bahasa Inggris.
Sampai sini, saya pasrah.
Berusaha berkata “terserah” mau di bawa kemana oleh Erwin Arnada. Hingga
kemunculan hantu yang bak tiruan boneka Smiley
(2012) pun kemudian meluluhlantahkan perasaan ini, bertanya pada diri sendiri
“Ini hantu atau badut pasar malam”. Saya menghela nafas, berusaha kembali
bersikap optimis. Hingga kemunculan kain terbang pun turut mempertanyakan diri
“Sejak kapan Alladin beralih ke dunia horror”. Tunggu, sebelum balon ulang
tahun tiba-tiba ada di tengah hutan.
Tusuk
Jelangkung: Di Lubang Buaya sukses membuat definisi “tampil beda”
100% manjur dengan segala perbedaannya yang jauh dari kesan horor. Bahkan lokasi
Taman Lubang Buaya yang (katanya) ada di Bali pun memiliki ketua desa seorang
pria Jawa dengan logat ngapak-nya
yang kental. Kita pernah menyaksikan Slamet Ambari dalam Turah (2016) dan di sini beliau menjadi kepala desa dari desa di
Bali. Sungguh sebuah penegakan diversity
yang harus dijunjung tinggi. Bali dan Jawa kan sama-sama Indonesia, ya kaan?
Puncak dari Tusuk Jelangkung: Di Lubang Buaya adalah
misi penyelamatan Sisi yang terjebak di alam gaib yang dilakukan oleh Arik
bersama sang kekasih, Mayang (Anya Geraldine) yang patut diberikan pujian
tersendiri, kala mereka berhadapan dengan kain terbang, ekspresi mereka datar
bak tanpa ketakutan. Kombinasi mereka memang mematahkan definisi “ekspresi
takut” yang musti ada di film horor. Sekali lagi definisi itu ditancapkan.
Di alam gaib pun, Erwin
Arnada menyelipkan sebuah pesan moral berupa “penghematan air” yang rasanya
sulit ada di film horor. Di sini Erwin melakukannya. Entah usaha apa lagi yang
dilakukan oleh Erwin guna menutupi naskahnya yang luar biasa di luar batas ini.
Cekikian tawa pula tingkah kebodohan mereka memang mengundang tawa pula hiburan
tersendiri. Saya belum menyebut bahwa Jelangkung yang di lemparkan ke air
terjun yang ditemukan oleh Sisi kembali di lempar kembali yang mana membuka
filmnya pada sebuah cliffhanger
tersendiri. Keruwetan apa lagi yang akan disajikan? Bukankah ini sudah lebih
dari cukup? Saya hanya bisa menjawab dengan “LAMBAIAN TANGAN KE KAMERA......”
SCORE
: 0.5/5
0 Komentar