Andhadhun adalah sajian bollywood yang kentara dengan elemen Hitchocokian di mana segala kebetulan akan melebar ke sebuah situasi yang kentara sarat dengan penuh tipu daya. Mulai dari seorang tokoh yang kebingungan dan terjebak di dalam situasi yang salah, kasus pembunuhan, perselingkuhan hingga beragam konspirasi yang saling menjatuhkan pula memanfaatkan. Terlebih, elemen ini adalah bumbu guna merajut sebuah twist yang akan membuat para pecinta twist bersorak sorai. Ya, banyak kelokan yang terlalu berkelok. Terlalu banyak malahan.
Akash (Ayushmann Khurrana) seorang pianis buta yang tengah menyelesaikan lagu terbarunya, tak sengaja ia bertemu dengan Sophie (Radhika Apte) dalam sebuah insiden yang hendak menabraknya. Dari sanalah, Sophie mengetahui talenta Akash dalam bermain piano yang kemudian menawarinya pekerjaan sebagai pianis di sebuah cafe. Dari situasi ini pula Akash bertemu dengan Pramod Sinha (Anil Dhawan), mantan aktor ternama yang mengundang Akash untuk bermain piano di rumahnya, dalam rangka sebuah konser privat bagi sebuah kejutan atas ulang tahun pernikahannya dengan Simi (Tabu), sang istri muda. Dari sinilah Akash terseret pada sebuah situasi dibukanya sebuah elemen Hitchocokian yang intens nan dilematis.
Dari sini, Andhadhun yang naskahnya ditulis oleh 5 orang, Sriram Raghavan (turut merangkap sebagai sutradara), Arijit Biswas, Pooja Ladha Surti, Yogesh Chandekar dan Hemant Rao mengajak penonton untuk bermain pada sebuah tumpukan tandan tanya yang melingkupi: Siapa yang dibunuh, siapa yang membunuh, bagaimana itu semua bisa terjadi, apa tujuannya. Naskahnya sudah punya jawaban tersendiri yang menurut saya tak seberapa sulit untuk diterka-keunggulannya adalah tampil intens dan konsisten.
Berawal dari sebuah inspirasi selepas menyaksikan L'Accordeur (The Piano Turner) sebuah short movie asal Prancis pada tahun 2010, Andhadhun jelas kaya akan sebuah ambisi, tak ayal ceritanya penuh dengan kelokan yang bertujuan menjaga intensitas agar tetap naik. Itu semua berjalan cukup baik lewat amunisi yang ditebar Sriram Raghavan, bahkan metafora dan kuncinya sendiri telah terendus sedari awal, sebuah kepekaa yang patut untuk diapresiasi, terlebih kala Raghavan turut memasukkan unsur black comedy yang tersaji sedemikian menggelitik.
Bangunan situasinya terjaga sedemikian apik. Ketegangan dan keingintahuan turut dipermainkan dan melekat di ingatan penonton. Saya pun demikian, begitu sulit untuk berpaling dari layar. Hingga memasuki paruh ketiga Raghavan turut mempertebal twist. Tak masalah jika diniatkan sebagai jalan menggiring penonton pada sebuah penebusan yang sepadan. Masalahnya sendiri, konklusinya bak sebuah jembatan dari twist ke twist berikutnya yang secara tak sengaja menurunkan intensitas.
Alhasil, apa yang ingin dicapai tak tersaji sedemikian penuh. Saya dengan gampang menduga bahwa apa yang dilihat tak seperti yang dipikirkan. Dan itu benar, kurangnya amunisi dalam hal penebusan menjadi kerikil sandungan tersendiri meski tak berakibat melucuti pesona pula esensi filmnya sendiri.
Jika Hitchock menggunakan situasi tunggal guna memperlebar penceritaan pula menyulut ketegangan. Raghavan memberikan ruang lebih berupa penambahan lokasi yang tak berkutat di satu tempat pula memperlebar penokohan tanpa sebuah kedalaman. Artinya, keberadaan mereka hanya sebatas melengkapi, meramaikan situasi-untungnya punya motivasi tersendiri meski nihil sebuah potensi.
Ayushmann Khurrana adalah jiwa film ini, menghabiskan 2 bulan berguru pada seorang pianis asal Los Angeles bernama Akshay Verma ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Kepiawaiannya dalam memainkan tuts piano bergerak lincah, mengukuhkan bahwa dirinya bak seorang pianis asli sementara sorot mata kebingungan kian terpatri. Satu lagi, Tabu, ia bak seorang kuda catur yang bergerak lincah bermain di noktah, keberadaannya kian memberikan suntikkan nyawa yang bisa saja merenggut nyawa. Ia jelas patut disandingkan dengan para "Hitchock Blonde", tentunya dengan tambahan elemen black comedy sebagai pembeda.
SCORE : 3.5/5
0 Komentar