Sebelumya, Loveyatri berjudul "Loverartri". Judul itu sempurna mewakili keseluruhan filmnya yang merupakan sebuah sambungan dari kata "Love" dan "Navrartri". Navrartri merupakan sebuah festival tahunan yang berlangsung selama 9 hari, sebuah penghormatan bagi Dewi Durga, di mana orang-orang bersorak-sorai dan menarikan sebuah tarian bernama Gabra. Sayang, judul tersebut urung digunakan akibat gencarnya protes organisasi keagamaan Hindu Parishad.
Dalam Loveyatri, tokoh utama kita bernama Sushrut atau kerap disapa Susu (Aayush Sharma) seorang pria dari golongan ekonomi menengah ke bawah yang mengabdikan hidupnya untuk mengajarkan tari Garba kepada anak-anak. Sebagaimana sang ayah bilang, tari Garba hanya berlangsung selama 9 hari, maka menggantungkan masa depan terhadapnya bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Namun, dalam jangka waktu yang singkat, lewat tarian Garba di perayaan Navrartri yang ia puja, ia bertemu pula dengan cinta. Ia adalah Michelle (Warina Hussain), seorang putri dari seorang pengusaha laundry ternama nan kaya raya sekaligus mahasiswa berprestasi.
Berkat Navarartri keduanya dipertemukan. Meski perbedaan mencolok melekat erat anatara Susu dan Michelle. Susu hidup di sebuah desa dengan kultur India kental, sementara Michelle hidup di London, menjalani hidup dan gaya Barat, pula didukung oleh sang ayah, Sam (Ronit Roy) untuk mengejar kesuksesan materi secara rill. Dari sini, dapat saya simpulkan bahwa cinta menyatukan budaya. Pun, sutradara Abhiraj Minawala sadar akan hal itu, hingga pertemuan sekaligus impresi pertama tatkala Susu memandang Michelle begitu menggugah. Menawan di saat bersamaan.
Dibantu kedua sahabatnya, Rocket (Sajeel Parakh) dan Negative (Pratik Gandhi), Susu menjalankan sebuah rencana konyol dan terstruktur berkat saran dari sang paman, Rasik (Ram Kapoor) demi menarik hati Michelle. Memang rencananya jauh dari kata baru-namun ini bisa dibenarkan kala seseorang tengah di mabuk asmara. Pun, saya mendukung Susu untuk berhasil.
Memasuki babak tengah, Loveyatri berjalan layaknya film bollywood klasik, di mana kita tahu pertemuan Susu dan Michelle takkan berlangsung lama. Pun, pada kesempatan ini, Susu mengacau, membuat sebuah konflik baru atas dasar "perbedaan pandangan hidup" pula kasta yang bak dinding pemisah besar. Saya sadar, dari sini naskah hasil tulisan Niren Bhatt tak seberapa kuat, pun lontaran dialog pun terasa dangkal.
Loveyatri sekali lagi menerapkan pola konflik film bollywood kebanyakan, di mana Shah Rukh Khan, Aamir Khan hingga Salman Khan yang turut berperan sebagai produser pun pernah melakoninya, di mana sang hero dituntut untuk menanggung beban yang begitu besar demi cintanya terhadap sang wanita. Terdengar klasik bukan?
Untungnya, gubahan musik dari Tanishk Bagchi, Lijo George-DJ Cheetas pula JAM8 senantiasa menaikkan tensi, menyelamatkan filmnya dari kebuntuan bercerita pula bertutur. Sehingga, ini setidaknya bisa mengeskalasi naskahnya yang tak seberapa kuat. Nomor musikalnya sendiri penuh akan semangat pula romantisme, pun Aayush Sharma penuh akan semangat, menutupi kapasitasnya dalam melakoni adegan dramatik. Sementara Warina Hussain yang sama-sama dalam peran debutnya, tak kalah menawan, meski terkait penokohan mereka sama-sama tak punya jangkauan yang lebih luas.
Menuju konklusi, Loveyatri kental akan sebuah simplifikasi. Di mana rentetan konflik yang tak seberapa besar itu terselesaikan begitu saja (tengok cameo: Sohail Khan dan Arbaaz Khan). Walaupun terasa kosong, musikalnya kembali menyelamatkan tensi, kali ini lewat lagu berjudul Chogada yang penuh akan semangat pula cinta. Pun terasa lengkap pula indah kala d bawah London Bridge, tepatnya di sebuah taman sukacita pula euphoria yang mewadahi cinta menjadi saksi. Bagaimana saya dapat menolak ini semua?
SCORE : 3/5
0 Komentar