Lewat Asih, Awi Suryadi membuktikan bahwa dia adalah seorang sutradara yang giat belajar dari tiap kesalahan. Pasca Danur: I Can See Ghosts (2017) yang merupakan kompilasi demi serentetan Jump Scare berisik serta sekelumit peningkatan yang terjadi di Danur 2: Maddah (2018). Awi Suryadi kini mulai menata Asih dengan rela meluangkan waktu demi merangkai penceritaan, tahu kapan dan di mana menggunakan jump scare andalan, itu semua bisa terealisasi secara utuh jikalau tanpa penulisan naskah yang hanya bertugas mengisi slot durasi ketimbang memperjelas apa yang akan terjadi.
Ya, Asih yang ditulis naskahnya oleh Lele Laila (dwilogi Danur, Keluarga Tak Kasat Mata) masih sama dengan karya sebelumnya, urung menggali sebuah potensi dengan hanya sebuah alasan untuk merangkai durasi. Mungkin dalam benaknya tersirat "buat apa repot-repot menulis naskah yang mumpuni jika cerita macam ini dapat membuat penonton berbondong masuk ke bioskop". Sungguh, Asih menyimpan sebuah formula yang berpotensi memperjelas sang titular charachter guna tersampaikan dan bahkan menjadi sebuah tontonan yang lebih dari sekedar mengisi durasi.
Mengambil setting 37 tahun sebelum kejadian di film Danur, diceritakan seorang wanita yang bernama Kasih alias Asih (yang urung dijelaskan perubahan makna namanya) yang diperankan oleh Shareefa Daanish membunuh bayinya sekaligus mengakhiri hidupnya. Kemudian kita diajak untuk melihat sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Puspita (Citra Kirana) bersama sang suami, Andi (Darius Sinathrya) dan juga sang mertua (Marini Soerjosoemarno) yang tengah menanti kelahiran sang buah hati. Sudah barang tentu seorang yang membunuh bayi dan kini melihat seorang protagonis memiliki bayi jelas bukanlah sebuah pertanda baik.
Asih sejatinya menebar beberapa konflik di paruh awal yang bisa saja dimanfaatkan untuk dieksplorasi lebih seperti penglihatan Ibu Andi yang mulai menurun, rasa takut Puspita terhadap sebuah cerita yang disampaikan sang bidan (Djenar Maesa Ayu) yang dirasa cukup untuk membentuk sebuah pangkal perpecahan terhadap keluarga. Tapi sekali lagi, semua itu urung dimanfaatkan berkat kelalaian sang penulis. Satu-satunya yang menarik hanyalah kala sang penulis memasukan beberapa kepercayaan lokal yang mengambil peran, seperti suara anak ayam atau tiang listrik yang dipukul.
Masih mengadopsi novel buatan Risa Saraswati, Asih jelas masih menyimpan setumpuk pertanyaan yang kurang digali dan kemudian ditampilkan. Sebutlah pertanyaan mengenai kenapa Asih meninggalkan sisirnya? Namun, perlahan tapi pasti saya dengan senang hati menyebut Asih sebagai sebuah pencapain terbaik yang dicapai Awi Suryadi untuk Danur Universe. Percayalah ia memang sutradara berbakat, berikan ia naskah yang mumpuni, niscaya ia akan mengguncang eksekusi.
Memang, Awi Suryadi masih berkaca dan menggunakan pola "James Wan" dalam merangkai momen andalan dalam jump scare-nya kala sang hantu tak sebatas menampilkan muka, -namun ikut menyerang seiring eksistensinya kembali hilang. Beberapa kali saya tercekat dari kursi, momen "dalam lemari" adalah momen terbaik, jikalau salah satu momen menyeramkan tak dibocorkan di dalam trailer.
Citra Kirana jelas mampu memerankan Puspita dengan segala keresahan pula ketkutannya dalam kadar memuaskan, sayang, sejak kehadiran Alex Abbad yang turut membuka sebuah konklusi, seketika injeksi turut menurun. Asih mengambil sebuah simplifikasi terkait sebuah penyelesaian alur (penyakit film Indonesia yang sering menjangkit) kala seketika dapat beres dengan sebuah doa yang diiringi teriakan. Ingin rasanya saya menikmati lebih dari sekedar ini. Jikalau seperti ini, Danur Universe bisa saja berjalan ditempat di tengah potensi Awi Suryadi. Mengganti seorang penulis naskah adalah keputusan yang tepat guna membawa franchise ini berjalan maju mencapai sebuah peningkatan signifikan.
SCORE : 3/5
0 Komentar