Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

ADRIFT (2018)

Sekali lagi, Adrift garapan sutradara asal Islandia, Baltasar Kormákur (Contraband, 2 Guns, Everest) menyajikan sebuah kekuatan atas dasar cinta. Terkesan formulaik dan cheesy memang, tapi itulah yang membuat film ini bekerja dengan baik. Konsisten memakai pakem formula yang turut mewadahi kapasitas Kormákur dalam merangkai adegan yang hanya perlu mengoles beberapa gambaran yang menggambarkan kisah nyata seorang Tami yang bertahan hidup di lautan lepas selama 41 hari, terbungkus dalam sebuah buku non-fiksi bertajuk Red Sky in Mourning: A True Story of Love, Loss, and Survival at Sea buatan Tami Oldham Ashcraft dan Susea McGearhart yang mana menjadi sumber utama dibuatnya film ini.


Guliran kisahnya tentu menceritakan Tami (Shailene Woodley) yang terjebak di tengah lautan lepas pasca kapalnya rusak parah terhantam badai. Impresi yang ia lakukan pasca sadar ialah berteriak, mencari sang kekasih Richard (Sam Claflin) yang awalnya berlayar bersama dari Tahiti menuju San Diego dalam rangka mengantarkan kapal pesiar “Hazana” ketika Badai Raymond menerjang. Setelah itu kita diajak untuk menelaah awal mula perjalanan mereka melalui alur flashback kala semuanya berawal.

Tentu, bukan tanpa tujuan menghadirkan momen flashback yang membawa penonton sesekali menikmati romantika mereka sebelum akhirnya dilempar kembali pada penderitaan yang mereka alami. Momen ini bertujuan sebagai perekat cerita guna menjadikan sebuah komparansi yang saling menguatkan alih-alih mendramatisasi lebih penderitaan. Tak semuanya berjalan dengan mulus, karena kala berada pada mode "tenang" butuh sebuah penanganan yang cukup kala kembali dilempar dalam mode "terjang" yang mana turut melucuti intensitas cerita.
Meskipun demikian, Kormákur mampu mempertahankan tensi lewat keputusan logis yang dilakukan karakternya. Kita melihat Tami yang berjuang demi mempertahankan kelangsungan hidup, tak menyerah sebelum akhirnya samudera mengizinkan ia kembali yang mana membuat rasa pulang yang semula menciut kembali membesar. Sesekali ia menambal kapal, mengembangkan layar dan mencari sisa-sisa makanan. Dari situasi ini Kormákur tak hanya menjadikan cinta sebagai kekuatan, lebih dari itu, cinta mampu mendorong seseorang untuk kembali bertahan pula berharap.

Woodley bermain sekuat tenaga memerankan Tami yang digempur rintangan yang siap menerjang. Sang aktris piawai bermain itu, sesekali kita ikut terenyuh pula mendukung setiap langkah yang ia lakukan demi mempertahankan hidup bersama orang terkasih. Sandungan lain terjadi kala Aaron Kandell, Jordan Kandell, dan David Branson Smith selaku penulis naskah terlalu merecoki keadaan yang seharusnya tampil menguatkan, sang aktris dituntut untuk menyebutkan beragam keadaan yang mana gagal menghantarkan sebuah impresi lebih terhadap penonton. Penonton bak dijejali apa yang akan Tami lakukan di tengah keputusan yang sejatinya sudah dapat penonton petik.

Memasuki pertengahan, Adrift kemudian di hadapi pada sebuah keadaan yang makin terjal yang kembali mengukuhkan kapasitas Kormákur yang kembali bermain pada metode aman. Tak sepenuhnya salah, toh keputusan ini mungkin yang terbaik ketimbang filmnya yang mencoba tampil untuk menerjang kembali yang bakalan tersaji sedemikian mentah pula dipaksakan. Perlu intensi lebih guna menaikkan intensitas di tengah penceritaan non-linier yang bisa saja tersaji sedemikian kusut.
Konklusinya tersaji sedemikian menyentuh, kali ini berkat Baltasar Kormákur yang mampu memanipulasi rasa di tengah formula. Hantaran emosi dilepaskan sedemikian pas berkat ketepatan penempatan. Menghantarkan sebuah memori yang kali ini ditemani Picture in A Frame-nya Tom Waits. Adrift memang bukanlah sebuah sajian yang pintar maupun segar, tapi efektif. Ini yang membuatnya berjalan tampil baik.
SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar