Sebelum Iblis Menjemput adalah horor buatan lokal terbaik sejauh ini
melanjutkan tongkat estafet dari Pengabdi Setan tahun lalu. Timo
Tjahjanto memang bukanlah sutradara kemarin sore, kecintaannya akan
genre horor turut ia buktikan disini, menumpah ruahkan emosi juga teror
yang sedari awal sudah tancap gas, memberikan nyawa terhadap karakternya
yang secara tidak langsung memberikan sebuah kesan tersendiri bagi saya dan mungkin kalian sebagai penontonnya.
Ceritanya memang terkesan biasa namun mampu berubah menjadi sebuah sajian intens yang luar biasa bergejolak luar dalam. Kita dihadapkan pada sebuah keluarga disfungsional, Lesmana (Ray Sahetapy) yang terkulai lemas di rumah sakit dan menderita penyakit aneh yang kemudian memaksa Alfie (Chelsea Islan) sang buah hati dari pernikahan pertamanya kembali berurusan dengan masa lalu yang menghantuinya terkait sikap sang ayah yang meninggalkannya bersama sang ibu yang tewas bunuh diri demi menikahi seorang aktris muda, Laksmi (Karina Suwandi). Kedatangan Alfie selain berurusan dengan masa lalunya kini harus bertemu dengan ketiga saudara tirinya, Maya (Pevita Pearce), Ruben (Samo Rafael) dan si bungsu Nara (Hadijah Shahab).
Laksmi beserta ketiga anaknya berencana untuk mengunjungi vila sang suami demi mencari aset penting yang memungkinkan untuk bisa dijual. Vila tersebut memang masih dipegang atas nama Alfie, ia pun datang sebelum ibu dan saudara tirinya terlebih dahulu. Vila tersebut mempertemukan mereka, misi pun dimulai dan semuanya mendadak berubah drastis kala sebuah pintu yang tersegel di buka kembali. Sesuatu yang didalamnya terdapat sebuah kekuatan jahat yang bisa saja menyerang mereka. Disinilah kepiawaian Timo yang turut merangkap sebagai penulis naskah unjuk gidi, membuat karakternya berpacu dengan sebuah "Neraka Dunia" buatan seorang Timo Tjahjanto.
Timo memang berkaca pada Sam Raimi (terlebih pada trilogi Evil Dead dan Drag Me to Hell) dan itu ia formulasikan disini begitu mumpuni tanpa adanya sebuah plagiarisme, membuatnya seolah versi lain dari film tersebut. Tanpa perlu basa-basi Timo memang sudah menancap gas sedari awal film bergulir yang turut memberikan sebuah prolog terkait kisahnya, menjauhkannya dari kesan murahan ditengah cerita yang jamak kita temui. Berkaca dari film sebelumnya bersama sang saudara tiri Kimo Stamboel, film ini bak gambaran nyata seorang Timo dan tentunya dengan tambahan rasa cintanya terhadap genre horor berbau supranatural. Sehingga terasa nyaman kala menikmati filmnya begitu terlihat rapi dan intens karena didasari rasa cinta dan tak hanya sebatas menggarap berdasarkan iblis bernama uang.
Visualisasinya begitu menawan, menampilkan era 80-90an yang kental akan nuansa tersebut, mulai dari piringan musik yang turut dimainkannya lagu lawas berjudul Hampa hingga scoring yang tepat guna dan menggelegar gubahan Fajar Yuskemal yang mana jauh dari musik horor serampangan dan mengganggu gendang telinga (penyakit film horor lokal). Jika berbicara mengenai gore yang mana adalah ciri khas sutradara sinting nan gila ini yang membuat karyanya begitu dicintai publik saya rasa ini tak seeksplisit Rumah Dara maupun segemen Safe Heaven di film omnibus V/H/S/2 bersama Gareth Evans. Timo lebih memainkan timing pada jump scre yang begitu mumpuni, kita sebagai penonton tahu kala durasi akan menampilkan itu dan kemudian ekspetasi pun turut Timo imbangi.
Berbicara mengenai sosok hantunya sekali lagi kata ini harus saya pakai jauh dari kesan murahan sebagimana film lokal belakangan ini, riasan sang hantu begitu menakutkan, saya tantang anda untuk tak menutup mata kala salah satu adegan di rumah sakit di menit awal atau kala adegan yang turut melibatkan Nara di sebuah kamar tidur. Tak peduli seberapa klasik trik yang Timo pakai, ia selalu membuat penonton terpuaskan ditengah rasa takut, memang beberapa unsur comedy tampil namun itu semua hanya sebatas hela nafas sebelum Timo kembali menggila dengan segala kemampuannya menakuti penonton, bahkan lebih dari itu menciptakan sembuah dampak yang luar biasa besar, sepulang menonton film ini saya masih terbayangi sosok sang iblis, membuat saya berlama-lama di ranjang tidur menunggu rasa kantuk itu datang.
Pujian patut dilontarkan kepada Chelsea Islan di debut horor-nya ini, saya bahkan berani penokohan Alfie adalah tokoh yang paling kuat yang pernah diciptakan para sineas lokal, ia begitu dibayangi akan masa lalu serta kebencian ditengah secercah kasih terhadap sang ayah, monolog di rumah sakit itu adalah bukti nyata bahwa sang aktris piawai bermain emosi dan juga ketakutan yang begitu dalam. Pevita Pearce hadir sebagai kekuatan tak terduga bahwa karakter Maya yang mendominasi cerita, meski tak sekuat rekannya, Pevita mampu eluar dari comfort zone yang selama ini ia emban di genre drama, demikian juga dengan Chelsea yang menemukan karakter yang tepat di tengah kebiasaanya terlarut dalam bermain emosi di genre drama. Karina Suwandi mampu tampil tak terduga, membuat karakternya punya sebuah gebrakan yang tak hanya besar, namun menakutkan. Kudos untuk semua pemeran!
Tak bisa saya pungkiri, saya begitu mencintai film ini dan ingin sekali melangkahkan kaki untuk kedua kalinya meski klimaks terkait konklusi-nya tak sehebat apa yang ditancap Timo sebelumnya, namun mampu mempunyai kesan tersendiri terhadap diri ini, bahwa sejatinya kita sebagai salah satu makhluk hidup yang berdiam di bumi dikuasai akan sebuah iblis, iblis yang bukan berupa wujud menyeramkan namun mampu mendorong kita melakukan sebuah tindakan yang menyeramkan sekalipun. dan iblis itu berwujud dan bersemayam dalam diri kita berupa rasa benci, ketakutan, trauma akan masa lalu dan tentunya iblis berupa uang. Dan film ini memaparkannya begitu subtil dan mumpuni di balik kedoknya sebagai film horor terbaik buatan anak negeri sejauh ini.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar