Sambut
Kafir: Bersekutu Dengan Setan yang berani tampil beda ditengah
mayoritas film horror yang hanya mengandalkan jump scare selaku
pembangun cerita, tampilan sosok menyeramkan yang tak hanya bak riasan
ala kadarnya, mengukuhkan filmnya berjalan mengedor jantung penonton
lewat suguhan horor psikologis yang atmosferik. Apresiasi memang patut
untuk di layangkan kepada film yang naskahnya di tulis oleh Upi (Sweet 20, #TemanTapiMenikah) beserta Rafik Hidayat. Namun setelah filmnya bergulir,
rasanya apresiasi mengenai tampilan tersebut harus berada sejajar dengan
kualitas.
Yang menukangi Kafir: Bersekutu Dengan Setan adalah Azhar Kinoi Lubis (Jokowi, Surat Cinta Untuk Kartini). Sedari awal film bergulir tampak sekali kejelian sutradara menangani aspek teknis. Pun demikian dengan sinematografi bidikan kamera Yunus Pasolang yang bergerak cepat nan dinamis, membuka momen makan malam di tengah guyuran hujan yang kala itu Sri (Putri Ayudya) tengah memasak hidangan bagi sang suami, Herman (Teddy Syach) beserta putrinya, Dina (Nadya Arina) sembari menunggu sang anak laki-laki, Andi (Rangga Azof) pulang dari kampus. Momen makan malam yang hangat itu tiba-tiba berubah mencekam kala sang bapak batuk dan mengeluarkan darah, di dalam mulutnya pun keluar pecahan beling yang saat itu juga merenggut nyawa sang bapak.
Tentu hal yang terjadi pada Herman adalah sesuatu yang tak wajar, ia memang di kirim santet oleh seseorang. Kondisi orang terkasih memang begitu berduka, tak terkecuali Sri yang larut dalam duka yang sangat dalam, ia murung, berbicara sembarangan, tak mau memasak makanan yang kala itu di hidangkan bahkan memutar lagu "Mawar Berduri" kesukaan sang suami pun ia tak sanggup. Paruh kedua film menyoroti sisi psikologis Sri, mulai dari melihat "kembaran" Andi, masakan yang jatuh tiba-tiba, hingga dentuman piano yang berbunyi sendiri. Putri Ayudya tampil begitu meyakninkan, memposisikan karakter Sri begitu terluka luar-dalam, momen kala Andi membawa sang kekasih, Hanum (Indah Permatasari) yang membawa sup ayam adalah bukti nyata kepiawaian sang aktris bermain ranah ekspresi yang turut melibatkan rasa.
Seperti yang telah saya singgung di atas, Azhar memang mengurangi jump scare, membawa penonton dalam nuansa atmosferik, dan itu berhasil ia lakukan kala jump scare yang minim itu berjalan tepat waktu di tengah pace filmnya yang lambat. Lambat berarti membangun nuansa keseraman secara pelan dan menghentak, namun apa yang dibangun secara pelan itu membutuhkan sebuah sensitivitas kala Sri melihat dan merasakan penampakan. Azhar memang urung membawa penonton masuk ke dalam sensitivitas itu, membuat apa yang di rasakan Sri tak begitu meyakinkan karena kurangnya keterkaitan terhadap penonton. Pun "noda dinding yang sulit hilang" urung dijabarkan, entah itu sekedar sisi traumatik Sri ataupun maksud lain yang berada dalam kaitan santet, saya pun tak tahu jelas tujuan itu.
Jelas pertanyaan terkait "siapa?" atau "apakah dia orangnya?" akan dipermainkan. Kala satu persatu benih ditebar Azhar mulai tersibak yang mana adalah sebuah proses yang penting di bangun sedari awal hanya berjalan sambil lalu, tak ada keinginan penonton untuk masuk mengikuti atau bahkan menyibak misteri tersebut. Momen yang melibatkan Sri datang ke rumah sang dukun, Jarwo (Sujiwo Tejo) yang turut melibatkan apai adalah sebuah pemandangan yang mengerikan yang lebih dari sekedar adegan poltergeist sekalipun, begitu creepy bahkan mencengangkan. Disitulah mestinya proses pembangunan harus dilakukan yang mana Azhar urung untuk lakukan.
Benar, semuanya akan tersibak di 15 menit terakhir yang turut menampilkan performa gahar dari Indah Permatasari dan Nova Eliza, menampilkan sebuah sekuen yang menurut saya akan sebut bangsat seaklipun. Penuh darah dan sakit yang begitu parah. Sayangnya semuanyaa tampil ruah berada dalam sekejap, penuh lelah dan bahkan pemilihan konklusi menggampangkan pun ditempuh Azhar guna mengakhiri filmnya. Rasanya saya ingin berlama-lama menikmati adegan itu, adegan yang begitu membuat saya tercengang di tengah twist yang pada pertengahan pun dapat tertebak. Ingin saya menyukai film ini karena adegan yang turut melibatkan bacaan ayat kursi dan 15 menit terakhir, namun saya tak bisa menutup mata bahkan menulis review film ini pun butuh pertimbangan yang lama. Setidaknya Kafir: Bersekutu Dengan Setan mempunyai adegan yang memorable di tengah sughan horor yang tampil beda pasca Pengabdi Setan (2017) dan saya pun ingin menikmati sajian horor yang lebih daripada film ini.
SCORE : 3/5
0 Komentar