Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

SABRINA (2018)

Sabrina adalah hasil dari sebuah kesuksesan The Doll (2016) dan The Doll 2 (2017) yang kemudian merebahkan sayapnya sebagai "the next the doll series". Bukan sebuah tanpa tujuan, The Doll (2016) mengumpulkan 550 rubu penonton dan kemudian The Doll 2 (2017) yang kemudian disusul oleh Mata Batin (2017) masing-masing berada pada angka 1 juta penonton. Jelas sebuah prestasi yang patut untuk di ulang kembali, pun demikian dengan niat sang sutradara Rocky Soraya. Pertanyaan yang patut untuk dipertanyakan adalah sejauh mana kualitas yang dihasilkan dari sebuah pencapaian prestisius tersebut?

Maira (Luna Maya) kini telah melangkah maju meninggalkan kisah masa lalunya dengan menikahi Aiden (Christian Sugiono). Keduanya belum dikaruniai momongan, namun sepakat untuk mengadopsi Vanya (Richelle Geogete Skornicki) keponakan Aiden yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya pasca sebuah kejadian mengerikan terjadi. Sama seperti kebanyakan anak yang rindu dengan kasih sayang sang ibu, Vanya memutuskan memangil sang ibu lewat sebuah permainan bernama Pensil Charlie. Namun bukan sang ibu yang datang, melainkan sosok yang menyerupai sang ibu, Bahgiah namanya.

Maira dan Aiden khawatir akan kondisi psikologis Vanya, yang kemudian mempertemukan kita kembali dengan Bu Laras (Sara Wijayanto) benang merah dari franchise The Doll yang kini sudah mempunyai suami sesama paranormal, Raynard (Jeremy Thomas). Jelas kasus baru menanti, entitas jahat masuk ke dalam sebuah medium boneka Sabrina second edition yang diberikan Maira kepada Vanya untuk mengenang Kayla, puteri Maira yang sudah tiada. Namun harapan yang sama seperti apa yang Kayla rasakan terhadap boneka Sabrina kini harus berbanding terbalik.

Saya tak ingin membicarakan kenapa boneka Sabrina begitu disukai oleh para bocah, dengan raut wajahnya yang begitu menyeramkan, yang mana adalah sebuah hal yang logika pun sepertinya tak mau menerima. Rocky Soraya yang masih dibantu sokongan naskah dari Fajar Umbara dan Riheam Junianti turut mengurangi sebuah kesan repetitif seperti yang terjadi di film sebelumnya, setidaknya perpindahan set yang digunakan sebagai tempat terror dari Bahgiah mengalami sebuah kemajuan, tak hanya di rumah saja melainkan pantai, pabrik, bahkan villa sekalipun. Namun bagaimana dengan terror yang dihasilkan? Rocky tetap setia mengulangi sebuah trik ala James Wan, memulai dengan begitu lambat kemudian menumpahkan terror yang begitu sesak, nyaris tanpa henti sekalipun di paruh kedua.

Aspek teknis berupa timing memang patut untuk di apresiasi, Rocky tahu kapan dan bagaimana memulai sebuah terror yang akan terjadi, menciptakan sebuah kesenangan berupa adegan tusuk-menusuk bertemu banjir darah yang mana begitu efektif memancing penonton untuk menggelakkan mata, tak hanya itu saja sedikit bumbu action pun ia taburkan seolah ia sendiri tak habis tenaga untuk menumpahkan aksi dan terror yang terasa repetitif sekalipun, pun demikian dengan stagnansi yang mendera, seolah filmnya tersusun atas terror demi terror yang melelahkan.

Mencapai klimaks, Sabrina seolah tengah mengalami kecapekan yang mana ini turut menurunkan intensitas, paparan drama pun gagal tersaji akibat lemahnya amnunisi yang mana disini hubungan psikologis Bu Laras dengan Pak Raynard maupun Maira dengan Aiden sangat jauh dari kesan menyentuh, mengambang begitu saja di permukaan. Pun sama seperti karya sebelumnya, trik terkait twist pun di terapkan yang mana bak seolah carbon copy dari karya sebelumnya.

Walaupun demikian, ambisi Rocky untuk mengembangkan Doll Universe layaknya The Conjuring Universe tak pernah surut, soso Bahgiah memang tampil begitu menyeramkan dengan ciri khas berupa hidung mancung. Bisa saja, kisahnya diangkat ke layar lebar, who knows?. Sabrina memang bukanlajh sebuah loncatan besar, tapi lebih kepada langkah Rocky mengembangkan cerita yang ia punya, setidaknya saya apresiasi langkah Rocky yang meskipun kecil ini dengan menambahkan unsur fiksi, sebut saja apikasi pendeteksi entitas yang terasa menggelikan atau pedang pusaka yang mnim elaborasi. Saya akan selalu menunggu karya Rocky Soraya yang mampu menciptakan sebuah hiburan ampuh di tengah trik usang yang jamak terjadi pada film horror lokal, dan adakalanya saya begitu senang jika Rocky mampu memadatkan durasi, menimalisir aksi guna menjauhkan dari sebuah stagnansi.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar