Roma adalah pembuktian seorang Alfonso Cuarón yang mampu menyulap kesederhanaan menjadi sebuah kemewahan. Sejenak ia berpaling dari tontonan blockbuster serupa Gravity (2013) yang memberinya piala Oscar sebagai "Sutradara Terbaik", dan Roma jelas jauh dari kesan demikian-namun khas sang sutradara masih terasa intim dan tentunya intens. Ini adalah semi-autobiografi bagi sang pengasuh Cuarón sewaktu kecil, teruntuk Libo Rodriguez, pahlawan berjasa yang kerap terlupakan, tak terlihat namun berarti, tak lain dan tak bukan adalah asisten rumah tangga (ART) alias pembantu.
Protagonis kita adalah Cleo (Yalitza Aparicio) seorang pembantu dari Sofia (Marina de Tavira). Seperti kebanyakan tugas seorang ART, keseharian Cleo tak jauh dari membersihkan rumah, menyiapkan makan, mengurus anak-anak hingga membersihkan kotoran anjing atas perintah sang kepala, Antonio (Fernando Grediaga) yang acap kali mengeluhkan masalah kebersihan dan bertengkar bersama sang istri. Sementara itu Cleo tetap mengurus serta melayani sang anak kala mereka membutuhkan sesuatu, menjadi penengah kala mereka bertengkar. Ia memang sering berada di belakang kala majikannya bertengkar hebat, -namun satu hal yang pasti ialah perekat mereka untuk tetap berdiri.
Paruh awal pembukanya seketika mengunci atensi saya, di mana Cuarón sendiri memperlihatkan lantai biasa yang secara perlahan tersirami air, turut muncul pula bayangan pesawat lewat di tengah pengadeganan kamera statis yang mengiringi. Secara tak langsung, ini membuktikan bahwa Cuarón memiliki kepekaan yang tinggi, ini pula kunci di mana konklusi nantinya bakal tersaji di tengah teknik neorealisme yang kental akan sebuah enskripsi.
Mayoritas adegan memang menampilkan aktivitas seorang Cleo, tapi Cuarón tetap mampu membuat Roma kaya rasa berkat kejadian tambahan yang turut melingkupi kisah mereka. Mulai dari keramaian kota, gemerlap pesta dansa, memadamkan kebarakan hutan hingga yang paling kompleks adalah membuat sebuah reka ulang pembantaian Corpus Christi. Semuanya berkulminasi dalam sebuah ketepatan timing yang turut menyenggol permasalahan ekonomi, politik hingga gender (termasuk sindiran terhadap maskulinitas) yang membuat Roma menjadi sebuah kesatuan yang utuh alih-alih saling terdistraksi.
Alhasil inilah apa yang kita sebut sebagai sebuah masterpiece yang tak harus melulu tampil pretensius. Cuarón mampu memberikan sebuah nyawa tersendiri kala ia merangkap penulis naskah, sinematografer, dan co-editor sembari memperkaya pemahaman kita akan kondisi Colonia Roma, Meksiko, pada 1970-1971 yang mana menjadi saksi bisu terhadap tumbuh-kembang seorang Cuarón. Nihil sebuah dramatisasi, Cuarón membiarkan filmnya bergerak pelan tapi pasti (termasuk penggunaan long-take statis) yang mengedepankan sebuah naturalisasi tersendiri.
Di departemen akting, Yalitza Aparicio yang masih nihil akan sebuah pengalaman memberikan sebuah kesan realistis terhadap filmnya, menekankan sebuah emosi yang tersaji begitu natural kala Cuarón mempadu-padankan dengan suasana yang menciptakan sebuah pengalaman yang indah bak coretan kuas, sebutlah momen kala Cleo berbaring bersama salah satu anak asuhnya di atas lantai sembari di temani sorotan matahari.
Menuju konklusi, Cuarón pun kembali menekankan sebuah emosi yang turut menjadi sebuah "jawaban pasti" atas semua yang terjadi. Menumpahkan sebuah emosi yang tertahankan pada diri seorang Cleo sembari turut "merekatkan", memaknai sebuah kehidupan yang penting akan sebuah kebersamaan, di sini pula siraman cahaya matahari senja turut menemani.
SCORE : 4.5/5
0 Komentar