Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

MILE 22 (2018)

Menandai kali keempat Mark Wahlberg bekerjasama dengan Peter Berg (Lone Survivor, Deepwater Horizon, Patriots Days), Mile 22 adalah apa yang akan diinginkan oleh penonton awam terkait sebuah tontonan eskapisme. Di dalamnya terdapat baku hantam yang ofensif, terlebih adegan kala Iko Uwais di borgol tangannya, melakukan sebuah koreografi lincah yang memanjakan mata. Setidaknya itu yang menjadi alasan terkuat saya kala menengpok trailer-nya di balik cerita tipis yang dihantarkan oleh sang sutradara.

Ya, sektor cerita yang ditulis oleh Lea Carpenter tak lebih dari sekedar usaha sekelompok agen rahasia menempuh perjalanan 22 mil guna mengantar aset yang menyimpan kode perangkat keras berisi lokasi senjata pemusnah masal, sembari menghadapi pasukan yang dikirim musuh. Sesederhana itu. Pun menilik latarbelakangnya sendiri, Mile 22 dibuat atas ketersimaan sang sutradara terhadap Iko Uwais pasca melihat performanya di The Raid. Sekali lagi Iko Uwais-lah yang menyelamatkan film ini (pula bertindak sebagai koreografer aksi bersama Rounda Rousey).

Dalam cerita yang setipis kertas tadi, Berg membagi penceritaannya lewat tiga karakter. Pertama, James Silva (Mark Wahlberg) salah satu agen pria yang tempramental pengidap ADHD, sulit berdiam diri kala terjadi sebuah kejadian yang terlampau intens, menjepretkan karet gelang peninggalan mendianh sang ibu digunakannya untuk menetralisir sebuah kekacauan yang dialaminya. Ini pula yang menjadikan tempo manic filmnya guna menyelaraskan dengan kondisi James. Perlukah? Saya rasa tak perlu. Terlebih, untuk pertama kalinya saya dibuat cukup anoyying oleh performa Wahlberg di sini, berbekal mata melotot pula celoteh yang tiada henti.

Kedua, Alice Kerr (Lauren Cohan), salah satu anggota wanita yang membantu James dalam sebuah misi, pula bertindak sebagai polisi Indocarr (tentu, ini merujuk pada Indonesia) yang diberi sub plot terkait kesulitannya menjaga hubungan dengan sang puteri pasca bercerai. Hal ini menegaskan bahwa pekerjaan sebagai spionase bagi wanita yang mencoba mengukuhkan diri dengan sebuah "women empowerment" tidaklah gampang. Pun sangat disayangkan, sub-plot ini pun hanya berjalan sambil lalu, nihil sebuah tindakan lebih selain karena sebatas sebagai pelengkap saja.

Ketiga, Li Noor (Iko Uwais), polisi Indocarr yang mengkhianati bangsanya dengan membocorkan rahasia pada pihak Amerika, sang aset utama mengapa filmnya harus dibuat pula penggerak sekuen aksi. Menyaksikan Iko Uwais dengan sikap dingin memberikan sebuah kapasitas akting lebih, tinggal menunggu sang aktor menangani sekuen dramatis yang masih menjadi kelemahannya. Pun, sekali lagi menyaksikan Iko Uwais di sini adalh hal yang terbaik pasca film low profile yang menghalangi performanya.

Harus diakui, Mile 22 adalah sebuah penurunan kualitas (3 filmnya bersama Mark membuat saya terkesan). Entah ini kali pertama ia menyuguhkan sebuah tontonan eskapisme ataukah sebuah kebingungan tersendiri terhadap keinginan untuk membuat filmnya tampil bagus yang harus terhalangi lubang menganga terkait penceritaan. Ya, sub-plot terkait karakternya urung dimaksimalkan pula digali sebagi penyulut lain-disamping sekuen aksi.

Kembali menyinggung perihal penyuntingan kilat yang digunakan Berg, hal demikian bertujuan guna mengurangi penurunan tensi. Pun, pemakaian nama Indocarr yang diniati sedari awal sebagai Indonesia terasa sedikit menggelikan, terlebih ini bisa saja disalahartikan sebagai showroom mobil. Entah itu sebagai penutupan atau apa yang jelas nama Rusia pun disebut Rusia di sini. Jika anda menonton Mile 22 tanpa perlu memperhatikan sektor cerita, jelas filmnya sendiri bisa memuaskan dahaga, terlebih pula untuk anda penyuka sebuah twist. Filmnya sendiri menolak untuk melepaskan cengkraman dari sekuen aksi pula cerita yang sejatinya terlampau ditarik-ulur. Hal demikian perlu untuk diterapkan guna sebuah eskapisme pelepas penat, meskipun demikian filmnya tak akan mengendap lama di ingatan. Blink-it-and-you’ll-miss-it.

SCORE : 3/5

Posting Komentar

0 Komentar