Kuntilanak
(2006) memang mengangkat nama seorang Rizal Mantovani pasca kesukesan
Jelangkung (2001) bersama sang koleganya, Jose Poernomo. Tahun ini,
filmnya kembali dibuat (tahun depan sekuelnya pun di rilis).
Meninggalkan unsur film pertama kecuali penggunaan cermin yang masih di
eksplorasi dan juga tempat bersarangnya sang Kuntilanak. Pun, filmnya
sendiri berusaha lebih jauh untuk
kembali ke akar permasalahan terkait Kuntilanak yang gemar menculik
anak-anak, sesuai kepercayaan masyarakat kita.
Lima anak
penghuni panti asuhan, Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Kresna (Andryan
Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali
Fikry) harus berpisah sejenak dengan ibu asuh mereka, Donna (Nena
Rosier) yang mesti bepergian ke Amerika selama 3 minggu. Sebagai
pengganti, Lydia (Aurelie Moeremans) diminta menjaga mereka. Jangan
bertanya mengapa panti asuhan hanya terdiri dari lima orang anak atau
mengapa bangunan yang kita sebut sebagai panti asuhan bak sebuah rumah
bergaya tua. Yang jelas ini adalah usaha Rizal Mantovani bersama sang
penulis naskah Alim Sudio (Guru Ngaji, Ananta, Ayat-Ayat Cinta 2) guna
menjembatani sebuah cerita pengantar mereka kepada sosok Kuntilanak.
Ya, semuanya berawal dari sebuah cermin yang di bawa oleh Glenn (Fero
Walandouw), kekasih Lydia. Glenn yang seorang pembawa acara tv
bertemakan horror membawa cermin tersebut dari sebuah rumah tua
terbengkalai yang turut menyimpan sebuah kejadian mistis terkait
hilangnya seorang bocah. Pun di sini pula sebuah "tanda tanya" di dalam
otak saya mencuat, mengapa rumah yang baru saja ditinggal selama empat
bulan bak sudah ditinggal empat tahun, penuh dengan akar-akar pohon pula
noda yang bersebaran di dinding? Bodohnya lagi saya bertanya tentang
sebuah pertanyaan yang sama sekali tak ada jawabannya.
Kelima anak tersebut pasti akan mengunjungi rumah tua terbengkalai guna
memenangkan sebuah hadiah berupa uang dengan cara memotret Kuntilanak
sekaligus membuktikannya. Jelas sebuah usaha yang nekat-yang sekali lagi
harus saya mafhumi guna terciptanya sebuah teror pula kesenangan
tersendiri kala sesosok Kuntilanak berjidat lebar datang menampakkan
diri. Ya, setidaknya saya bisa tertawa lepas melihat wujud sang makhluk.
Meski jika harus dibandingkan dengan film sosok Kuntilanak terdahulu
yang lebih condong ke ranah fantasy-ini adalah sebuah penurunan-terlebih
sosoknya yang terlampau medioker.
Apresiasi jelas patut
untuk dilayangkan kepada Rizal karena ia mampu menghindarkan filmnya
dari serentetan jumop scare berisik yang menjadi primadona film horor
belakangan. Keputusan untuk memberikan sebuah teror mendadak pun mampu
tersaji tepat sasaran, meski semuanya tak bertahan lama kala konklusi
yang mampu tampil ofensif pula menyeramkan gagal tersaji berkat
ketiadaan sebuah momen masif yang menjadi titik balik serangan
Kuntilanak itu sendiri. Momen "penebusan" ini pun berjalan datar.
Setidaknya, saya masih terhibur berkat kepiawain para pelakon cilik
dalam bermain peran. Terutama Ciara Naine Brosnan si bungsu yang gemar
melontarkan celotehan "semaunya". Belakangan memang aktor cilik kurang
bersinar berkat kurangnya pemahaman. Namun berbanding terbalik di sini,
menyaksikan mereka berlakon pula berceloteh adalah sebuah hiburan
tersendiri yang mengasyikkan, tentu ketimbang seluruh filmnya.
SCORE : 2.5/5
0 Komentar