Tab

Ticker

6/recent/ticker-posts

KUNTILANAK (2018)

Kuntilanak (2006) memang mengangkat nama seorang Rizal Mantovani pasca kesukesan Jelangkung (2001) bersama sang koleganya, Jose Poernomo. Tahun ini, filmnya kembali dibuat (tahun depan sekuelnya pun di rilis). Meninggalkan unsur film pertama kecuali penggunaan cermin yang masih di eksplorasi dan juga tempat bersarangnya sang Kuntilanak. Pun, filmnya sendiri berusaha lebih jauh untuk kembali ke akar permasalahan terkait Kuntilanak yang gemar menculik anak-anak, sesuai kepercayaan masyarakat kita.

Lima anak penghuni panti asuhan, Dinda (Sandrinna Michelle Skornicki), Kresna (Andryan Bima), Ambar (Ciara Nadine Brosnan), Panji (Adlu Fahrezy), dan Miko (Ali Fikry) harus berpisah sejenak dengan ibu asuh mereka, Donna (Nena Rosier) yang mesti bepergian ke Amerika selama 3 minggu. Sebagai pengganti, Lydia (Aurelie Moeremans) diminta menjaga mereka. Jangan bertanya mengapa panti asuhan hanya terdiri dari lima orang anak atau mengapa bangunan yang kita sebut sebagai panti asuhan bak sebuah rumah bergaya tua. Yang jelas ini adalah usaha Rizal Mantovani bersama sang penulis naskah Alim Sudio (Guru Ngaji, Ananta, Ayat-Ayat Cinta 2) guna menjembatani sebuah cerita pengantar mereka kepada sosok Kuntilanak.

Ya, semuanya berawal dari sebuah cermin yang di bawa oleh Glenn (Fero Walandouw), kekasih Lydia. Glenn yang seorang pembawa acara tv bertemakan horror membawa cermin tersebut dari sebuah rumah tua terbengkalai yang turut menyimpan sebuah kejadian mistis terkait hilangnya seorang bocah. Pun di sini pula sebuah "tanda tanya" di dalam otak saya mencuat, mengapa rumah yang baru saja ditinggal selama empat bulan bak sudah ditinggal empat tahun, penuh dengan akar-akar pohon pula noda yang bersebaran di dinding? Bodohnya lagi saya bertanya tentang sebuah pertanyaan yang sama sekali tak ada jawabannya.

Kelima anak tersebut pasti akan mengunjungi rumah tua terbengkalai guna memenangkan sebuah hadiah berupa uang dengan cara memotret Kuntilanak sekaligus membuktikannya. Jelas sebuah usaha yang nekat-yang sekali lagi harus saya mafhumi guna terciptanya sebuah teror pula kesenangan tersendiri kala sesosok Kuntilanak berjidat lebar datang menampakkan diri. Ya, setidaknya saya bisa tertawa lepas melihat wujud sang makhluk. Meski jika harus dibandingkan dengan film sosok Kuntilanak terdahulu yang lebih condong ke ranah fantasy-ini adalah sebuah penurunan-terlebih sosoknya yang terlampau medioker.

Apresiasi jelas patut untuk dilayangkan kepada Rizal karena ia mampu menghindarkan filmnya dari serentetan jumop scare berisik yang menjadi primadona film horor belakangan. Keputusan untuk memberikan sebuah teror mendadak pun mampu tersaji tepat sasaran, meski semuanya tak bertahan lama kala konklusi yang mampu tampil ofensif pula menyeramkan gagal tersaji berkat ketiadaan sebuah momen masif yang menjadi titik balik serangan Kuntilanak itu sendiri. Momen "penebusan" ini pun berjalan datar.

Setidaknya, saya masih terhibur berkat kepiawain para pelakon cilik dalam bermain peran. Terutama Ciara Naine Brosnan si bungsu yang gemar melontarkan celotehan "semaunya". Belakangan memang aktor cilik kurang bersinar berkat kurangnya pemahaman. Namun berbanding terbalik di sini, menyaksikan mereka berlakon pula berceloteh adalah sebuah hiburan tersendiri yang mengasyikkan, tentu ketimbang seluruh filmnya.

SCORE : 2.5/5

Posting Komentar

0 Komentar